SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH
Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [1]
Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.
“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. [2]
Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [3] Yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah, sebagian juga mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Rasulullah.
CATATAN KAKI :
[1] Lihat : al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
[2] Lihat : Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani.
[3] Oleh karena itu, keliru jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya hindu hanya karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan dari segi asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu boleh dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari sebab itu bisa di lakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban, menentukan hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu hari menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi ketertiban (bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya. Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah hadits al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai berikut ;
وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك
“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”.
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya seperti shalat fardlu dan lainnya.
Meskipun, seandainya penentuan hari seperti itu bermula dari warisan ajaran hindu, namun hal tersebut telah menjadi kultur budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan “al-Adaat”. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dan dai-dai Islam lainnya dengan hanya menggiring dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya yang benar sesuai dengan syariat Islam berdasarkan pertimbangan dengan kaidah-kaidah syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan makanan sesajen untuk roh orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan sesajen tersebut, maka diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah atas nama orang mati yang diberikan kepada orang yang masih hidup, dan orang mati mendapatkan manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Ta’alaa, inilah yang tepat menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan syariat Islam bahkan sesuai dengan syarit Islam, sebagaimana sebuah kisah ketika digantinya budaya Jahiliyyah yakni melumuri kepala bayi dengan darah hewan sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak za’faraan, disebutkan pada sebuah hadits shahih yang tercantum didalam Sunan Abi Daud [2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [9/509] :
عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا «نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : aku mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika kami masih di masa Jahiliyyah, apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami, menyembelih seekor kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan, maka tatkala Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambutnya namun melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan”.
Al-Syawkani didalam Nailul Awthar [5/ 16] dan disebutkan juga didalam ‘Aunul Ma’bu [8 33]dikomentari sebagai berikut :
قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور
“Frasa : (dan kami melumurinya dengan minyak za’faraan), padanya merupakan dalil atas disunnahkannya melumuri kepala bayi dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana didalam hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan”.
Lebih jauh lagi, istilah 40 hari pun sebenarnya dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan didalam Hasyiyah al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] karangan Imam al-Suyuthi (w 911 H).
وروى بن جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا
“Ibnu Juraij meriwayatkan didalam Mushannafnya dari al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata : “dua orang mengalami fitnah qubur yaitu orang mukmin dan orang munafiq ; orang mukmin mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq mengalami fitnah qubur selama 40 hari”.
Imam al-Suyuthi juga menyebutkan didalam kitab al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi ‘alaa Muslim [2/491] sebagai berikut :
روى أَحْمد بن حَنْبَل فِي الزّهْد وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن الْمَوْتَى يفتنون فِي قُبُورهم سبعا فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ الْأَيَّام إِسْنَاده صَحِيح وَله حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد بن عُمَيْر أَن الْمُؤمن يفتن سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده صَحِيح أَيْضا وَذكر بن رَجَب فِي الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على الْقُبُور سَبْعَة أَيَّام من يَوْم الدّفن لَا تُفَارِقهُ
“.... sanadnya shahih juga, dan Ibnu Rajab menyebutkan tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas qubur selama 7 hari sejak di makamkan serta tidak memisahkannya”.
Wallhu a'lam bish-Shawab
No comments:
Post a Comment