Sunday, March 31, 2013

Membongkar kedustaan pengakuan salafi wahhabi

Membongkar kedustaan pengakuan salafi wahhabi atas pujian para ulama kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, baca untuk tukang dusta wahabi.

Orang-orang wahabi salafi mengaku bahwa banyak para ulama dunia yang memuji dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, benarkah hal itu ??? siapa saja kah para ulama yang telah memuji Muhammad bin Abdul Wahhab ???
Ternyata ulama-ulama yang mereka klaim sebagai Ulama dunia tidak ada lain hanya berputar dari kalangan keluarga dan murid-murdi Muhammad bin Abdul Wahhab saja. Bahkan mereka berani berdusta atas nama ulama Ahlus sunnah waljama’ah di antaranya imam Ash-Shon’aani padahal beliau mencela Muhammad bin Abdul wahhab. Juga

Wahaby mencatut Nama Para Ulama Tarekat

[VIII]   Mereka mencatut Nama Para Ulama Tarekat[1] 

Orang-orang Wahhabi dengan gencar mempropagandakan bahwa Syekh Abdul Qadir al Jilani berakidah Tasybih seperti mereka berdasarkan kitab al Ghun-yah yang dinisbatkan kepadanya, padahal banyak sisipan-sisipan palsu dalam kitab tersebut seperti perkataan bahwa Allah di langit, bahwa huruf abjad adalah azali dan lainnya. Syekh Ibnu Hajar al Haytami menjelaskan tentang akidah Imam Ahmad ibn Hanbal dan adanya sisipan-sisipan palsu dalam kitab al Ghun-yah sebagai berikut:[2]

Wahaby mencatut Nama Imam Madzhab Empat

[VII]  Mereka mencatut Nama Imam Madzhab Empat

Abdur Rahman al Khumais yang menulis buku Akidah Imam Empat Madzhab, dan sebenarnya semua isinya adalah dusta dan kebohongan terhadap para imam madzhab empat dengan dua alasan:

Pertama: Isi buku tersebut bertentangan dengan penegasan para ulama pengikut madzhab empat sendiri tentang akidah para imam mereka, para pendiri empat madzhab tersebut.

Wahaby mencetak karya-karya ulama Ahlussunnah dengan klaim Tahqiq, lalu melakukan Tahrif atau membantah di dalamnya

[VI]   Mereka mencetak karya-karya ulama Ahlussunnah dengan klaim Tahqiq, lalu melakukan Tahrif  atau membantah di dalamnya

-          Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz yang mencetak Fath al Bari Syarah Shahih al Bukhari dan membuat catatan-catatan kaki yang isinya membantah dan menyalahkan al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dan memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani.[1]

-          Ibnu Baz juga mencetak Matn al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah lalu melakukan tahrif (penyelewengan) terhadap perkataan al Imam ath-Thahawi, menyalahkan dan menyesatkan ath-Thahawi dalam beberapa masalah akidah.[2]

Wahaby menulis Syarah terhadap Karya-karya Ulama Ahlussunnah dengan penjelasan-penjelasan menyimpang

[V]  Mereka menulis Syarah terhadap Karya-karya Ulama Ahlussunnah dengan penjelasan-penjelasan menyimpang

Ibnu Abi al ‘Izz yang menulis Syarh al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah dengan dipenuhi akidah tasybih dan paham-paham Ibnu Taimiyah.[1]

Ibnu Abi al ‘Izz mengawali syarahnya dengan memuji Abu Hanifah dengan mengatakan:[2]

 (أَمَّا بَعْدُ) فَإِنَّـهُ لَمَّا كَانَ عِلْمُ أُصُوْلِ الدِّيْنِ أَشْرَفَ العُلُوْمِ، إِذْ شَرَفُ العِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُوْمِ، وَهُوَ الفِقْهُ الأَكْبَرُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى فِقْهِ الفُرُوْعِ، وَلِهذَا سَمَّى الإِمَامُ أَبُوْ حَنِيْـفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى مَا قَالَـهُ وَجَمَعَهُ فِيْ أَوْرَاقٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ الفِقْهَ الأَكْبَرَ. 

Wahabi memotong-motong Perkataan Ulama yang Dianggap Merugikan Mereka

[IV]  Mereka memotong-motong Perkataan Ulama yang Dianggap Merugikan Mereka

Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz dalam fatwa bantahan terhadap fatwa al Albani, yang dimuat dalam Majallah al Buhuts al Islamiyyah tentang hukum bolehnya memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran bagi kaum wanita menukil perkataan Imam an-Nawawi dalam al Majmu' Syarh al Muhadzdzab, jilid IV, hal. 384:

فَرْعٌ : قَالَ أَصْحَابُنَا : يَجُوْزُ لِلنِّسَاءِ لُبْسُ أَنْوَاعِ الْحُلِيِّ كُلِّهَا مِنَ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ؛ الْخَاتَمِ وَالْحَلْقَةِ وَالسِّوَارِ وَالْخَلْخَالِ وَالطَّوْقِ وَالْعِقْدِ وَالتَّعَاوِيْذِ وَالْقَلاَئِدِ وَغَيْرِهَا.

Wahabi melakukan Kebohongan-kebohongan dalam Penisbatan Aqwal

[III]  Mereka melakukan Kebohongan-kebohongan dalam Penisbatan Aqwal

1-  Kasus Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah dalam karya-karyanya selalu menisbatkan pendapatnya kepada para ulama Salaf, ahli hadits, a-immah as-Sunnah secara umum tanpa menyebut nama. Kadang ia nisbatkan kepada para imam madzhab empat atau sebagian ulama madzhab empat dengan atau tanpa menyebut nama. Seringkali Ibnu Taimiyah sengaja menyebutnya secara global tanpa menyebut nama karena memang dia tidak bisa membuktikan hal itu, dan sering dia menyebut beberapa nama dan pada kenyataannya nama yang disebut tidak terbukti berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah. Ini semua dilakukan untuk propaganda, pengelabuan agar orang mengikuti pendapatnya.

Wahaby mengklaim Adanya Nasakh atau Khushushiyyah Tanpa Dalil

[II]  Mereka mengklaim Adanya Nasakh atau Khushushiyyah Tanpa Dalil

Orang-orang Wahhabi dan para panutan mereka ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan faham mereka, maka mereka akan mengklaim hadits tersebut berlaku khusus. Berikut beberapa contoh:

1.      Tahrif  Ibnu Taimiyah terhadap Fatwa Ibnu Abdis Salam
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Taimiyah menyelewengkan fatwa al ‘Izz ibn Abdis Salam. Ibnu Abdis Salam yang berbicara tentang al Iqsam ‘ala Allah dengan makhluk-Nya dan beliau berpendapat jika hadits tentang hal itu sahih maka hendaknya al Iqsam ‘ala Allah dikhususkan dengan Nabi, kemudian diselewengkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Abdis Salam adalah masalah tawassul yang hendaknya dikhususkan dengan Nabi saja. Syekh Abdullah al Ghumari menjelaskan:[1]

Mereka mengklaim Ajaran yang tidak sesuai dengan paham Wahhabi sebagai tradisi Yahudi, Nasrani, Syi’ah, Bathiniyyah dan semacamnya

[I]  Mereka mengklaim Ajaran yang tidak sesuai dengan paham Wahhabi sebagai tradisi Yahudi, Nasrani, Syi’ah, Bathiniyyah dan semacamnya

Contoh:

1. Al Albani dalam risalahnya “ar-Radd ‘ala at-Ta’aqqub,” hal. 64 berkomentar tentang Tasbih:

لأَنَّهَا مِنْ شِعَارِ النَّصَارَى. 

“Tasbih termasuk syi’ar (lambang) orang-orang nasrani.” 

Padahal al Imam as-Suyuthi mengatakan dalam risalah “al Minhah Fi as-Subhah”:

وَقَدْ اِتَّخَذَ السُّبْحَةَ سَادَاتٌ يُشَارُ إِلَيْهِمْ وَيُؤْخَذُ عَنْهُمْ وَيُعْتَمَدُ عَلَيْهِمْ كَأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَكَانَ لاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ تَسْبِيْحَةٍ، قَالَهُ عِكْرِمَةُ. وَفِيْ مَوْضِعٍ ءَاخَرَ: "وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ وَلاَ مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ، بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّوْنَهُ بِهَا وَلاَ يَرَوْنَ ذلِكَ مَكْرُوْهًا.ا.هـ .

“Tasbih ini telah dipakai oleh para panutan kita, tokoh-tokoh ternama, ulama-ulama sumber ilmu dan sandaran ummat, seperti Abu Hurairah t. Beliau punya benang yang ada dua ribu bundelan, beliau tidak akan tidur hingga berdzikir dengannya sebanyak dua belas ribu kali, diriwayatkan oleh 'Ikrimah.” Di halaman lain as-Suyuthi mengatakan: "Tidak pernah dinukil dari seorang-pun ulama salaf dan khalaf yang melarang menghitung dzikir dengan tasbih, melainkan kebanyakan ulama yustru menghitung dzikir dengan menggunakan tasbih dan tidak mengganggap hal itu sebagai perkara makruh sekalipun.”

2. Orang-orang Wahhabi dalam memberi kesan negatif kepada Maulid, mereka menyatakan bahwa yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah golongan sesat Syi’ah Bathiniyyah Isma’iliyyah. Padahal para ahli hadits dan sejarah menegaskan bahwa orang yang pertama kali mengadakan maulid yang dianggap bid’ah hasanah oleh para ulama adalah raja al Muzhaffar, raja Irbil, Irak. Al Hafizh as-Suyuthi menegaskan:[1]

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ صلى الله عليه وسلم. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.

“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid; berupa berkumpulnya orang, membaca al Qur'an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Nabi dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan dan bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid'ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala, karena itu merupakan perbuatan mengagungkan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran Nabi yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al Muzhaffar Abu Sa'id Kawkabri ibnu Zainuddin ibnu Buktukin, salah seorang raja yang hebat, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al Jami' al Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun.”

Ibnu Katsir memuji raja al Muzhaffar dalam kitab Tarikh-nya, ia berkata:

كَانَ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ الشَّرِيْفَ فِي رَبِيْع الأَوَّلِ وَيَحْتَفِلُ بِهِ احْتِفَالاً هَائِلاً وَكَانَ شَهْمًا شُجَاعًا بَطَلاً عَاقِلاً عَالِمًا عَادِلاً رَحِمَهُ اللهُ وَأَكْرَمَ مَثْوَاهُ.

“Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal dan beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan adil –semoga Allah merahmatinya.”

Penegasan ini disetujui oleh para ulama setelahnya seperti Muhaddits Marokko Syekh Abdullah al Ghumari, Muhaddits Daratan Syam Syekh Abdullah al Harari, al Muhaddits Syekh Muhammad Zahid al Kawtsari dan lainnya.[2]

3. Peringatan Maulid yang oleh al Hafizh Ibnu Hajar dinyatakan ada asalnya yang sahih dari hadits Nabi, beliau menyatakan:[3]

وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ اليَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاء فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوْا هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى مُوْسَى فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى، فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذلِكَ فِي نَظِيْرِ ذلِكَ اليَوْمِ مِنْ كُلِّ سَـنَةٍ، وَالشُّكْرُ للهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ العِبَادَةِ كَالسُّجُوْدِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلاَوَةِ، وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ بِبُرُوْزِ هذَا النَّبِيِّ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ فِي ذلِكَ اليَوْمِ.

“Telah nyata bagi-ku bahwa peringatan Maulid ini bisa dikembalikan kepada dalil asal yang sahih, yaitu hadits sahih dalam Sahihayn bahwa ketika sampai di Madinah (pada permulaan Hijrah) Nabi r mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Dzulhijjah), maka Nabi bertanya kepada mereka, mereka-pun menjawab: hari itu adalah hari di mana Allah tenggelamkan Fir’aun dan Allah selamatkan Musa, maka kami berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur kita kepada Allah. Maka dipahami dari hadits ini melakukan perbuatan syukur atas anugerah yang diberikan Allah pada hari tertentu; baik berupa datangnya nikmat atau ditolaknya bahaya, dan itu diulang di setiap hari yang sama dari setiap tahunnya, bersyukur kepada Allah terlaksana dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al Qur’an. Dan sudah maklum adakah nikmat yang lebih agung dari nikmat munculnya Nabi pembawa rahmat ini pada hari tersebut ?!”

Al Hafizh as-Suyuthi juga menegaskan:

وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهُ عَلَى أَصْلٍ ءَاخَرَ. 

“Dan telah nampak bagiku mengembalikan masalah Maulid ini ke dalil asal yang lain juga.”

Sedangkan orang-orang Wahhabi menganggap mengadakan peringatan Maulid Nabi adalah tasyabbuh dengan orang-orang Yahudi seperti dinyatakan oleh Ibnu Baz dalam Fatawa Muhimmah (hal. 145) dan at-Tahdzir Min al Bida’ (hal. 3-6) atau sebagian dari mereka menganggap peringatan Maulid Nabi sama dengan peringatan Natal orang-orang Kristen. Bahkan lebih parah lagi, dalam Fatawa al-Lajnah ad-Da-imah mereka menganggap sembelihan yang disembelih saat maulid Nabi adalah termasuk yang disembelih atas nama selain Allah dan itu adalah syirik.

 Referensi

[1]  As-Suyuthi, al Hawi Li al Fatawi, jilid I, hal.183-185.
[2]  Lihat al Ghumari, al Hawi fi Fataawaa al Ghumari, jilid I, hal.48, al Harari, Sharih al Bayan, jilid I, hal.286, al Kawtsari, Maqaalaat al Kawtsari, hal.439.
[3]  As-Suyuthi, al Hawi Li al Fatawi, jilid I, hal.183-185.

( Catatan ke 1 ) Khiyanah Ilmiyyah Dan Berbagai Strategi Licik Kaum Wahhabi