Tuesday, May 21, 2013

Sejarah dan keagungan MADZHAB SYAFI’I



oleh K.H Siradjuddin Abbas (Chapter I)

TAHUN DAN TEMPAT LAHIR
Nama asli dari Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris. Gelar beliau Abu abdillah.
Orang arab kalau menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar daripada nama, sehingga berbunyi : Abu Abdillah Muhammad bin Idris.
Beliau lahir di gaza, bahagian selatan dari palestina, pada Tahun 150 H. pertengahan abad kedua hijriyah. Ada ahli sejarah yang mengatakan beliau lahir di asqalan, tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena gaza dahulunya adalah daerah asqalan.
Kampung halaman Imam Syafi’I R.A bukan di gaza palestina tetapi di mekkah (hijaz). Dahulunya ibu bapak beliau dating ke gaza untuksuatu keperluan dan tidak lama setelah itu beliau lahir.
Ketika beliau masih kecil ayahnya meninggal di gaza dan beliau menjadi anak yatim yang hanya di asuh oleh ibunya saja.
Sejarah telah mencatat bahwa ada 2 kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’I R.A
1. Sewaktu ibunya dalam kandungan, ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya dan terus naik membumbung tinggi, kemudian bintang itu pecah bercerai dan berserak menerangi daerah-daerah sekelilingnya.


Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan melahirkan seorang putra yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad raya. Sekarang menjadi kenyataan bahwa ilmu Imam Syafi’I R.A memang memenuhi dunia, bukan saja ditahan arab di timur tengah dan afrika tetapi juga sampai ketimur jauh ke Indonesia, Malaysia, Thailand, philipina dan lain lain.

2. Sepanjang sejarah pada hari Imam Syafi’i R.A dilahirkan itu, meninggal dunia dua ulama besar, seorang di Baghdad (Iraq) yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin tsabit (pembangun madzhab Hanafi) dan seoarang lagi di mekkah, yaitu Imam ibnu jurej al makky, mufti hijaz ketika itu.
Kata orang dalam ahli ilmu firasat hal ini adalah satu pertanda bahwa anak yang lahir ini adalah satu pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan kepintarannya, memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.


NENEK MOYANG IMAM SYAFI’I
Nenek moyang Imam Syafi’I adalah Muhammad, bin Idris, bin abbas, bin Utsman, bin Syafi’, bin saib, bin Abu yazid, bin Hasyim, bin Abdul mutholib, bin Abdul manaf bin Qushai.
Abdul manaf bin Qushai yang menjadi nenek ke 9 dari imam syafi’I R.A adalah abdul manaf bin Qushai neek yang ke 4 dari Nabi Muhammad shola-Allahu ‘alaihi wasallam.
Nenek moyang Nabi Muhammad shola-Allahu ‘alaihi wasallam sebagai dimaklumi adalah : Muhammad bin Abdullah bin abdul mutolib, bin hasyim bin abdul manaf bin qushai bin kilab bin marah bin ka’ab bin luai bain gahlib bin fihir bin malik bin nadhar bin kinanah bin khuzaimah bin mudrikah bin ilyas bin ma’ad bin adnan sampai kepada Nabi Isma’il dan Nabi Ibrahim ‘alaimashalatu wassalam.
Terang lah dalam silsilah ini bahwa Imam Syafi’I R.A senenek moyang dengan Nabi Muhammad shola-Allahu ‘alaihi wasallam.
Adapun dari pihak ibu : fathimah binti Abdullah bin hasan bin Husain bin ali bin abi thalib Rda.
Ibu Imam Syafi’I R.A adalah cucu dari cucu sayyidina ‘Ali bin abi thalib, menantu, sahabat Nabi dan khalifah ke IV yang terkenal.
Sepenjang sejarah diketemukan bahwa saib bin abu yazid, nenek Imam Syafi’I yang ke lima adalah sahabat Nabi Muhammad shola-Allahu ‘alaihi wasallam.
Jadi baik dipandang dari segi keturunan darah, maupun dipandang dari keturunan ilmu maka Imam Syafi’I yang kita bicarakan ini adalah karib kerabat dari Nabi Muhammad shola-Allahu ‘alaihi wasallam.
Gelaran SYAFI’I dari Imam Syafi’I R.A diambil dari neneknya yang ke 4 yaitu Syafi’I bin saib.

KEMBALI KE MEKKAH AL-MUKARRAMAH
Setelah usia Imam Syafi’I R.A 2 tahun, ia dibawa ibunya kembali ke mekkah al-mukarramah, yaitu kampung halaman beliau, dan tinggal di mekkah sampai usia 20 tahun yakni sampai tahun 170 H.
Dalam angka 20 tahun ini terdapat perbedaan-perbedaan dalam catatan sejarah, ada yang mengatakan sampai usia 13 tahun, ada yang mengatakan sampai usia 14 tahun ada yang mengatakan sampai usia 20 tahun da nada yang mengatakan sampai usia 22 tahun.
Tetapi penulis buku ini sesudah memperhatikan dari bermacam-macam segi, agak condong berpendapat bahwa Imam syafi’i R.A tinggal di mekkah sampai usia 20 tahun dan sesudah itu pindah ke madinah al-munawwaroh.
Perbedaan angka itu tidak prinsipil. Yang terang beliau tinggal di mekkah diwaktu kecil dan setelah muda remaja pindah ke madinah,
Selama beliau di mekkah, Imam Syafi’I berkecimpung dalam menuntut ilmu pengetahuan, khusus yang bertalian dengan agama Islam sesuai dengan kebiasaan kaum Muslimin ketika itu.
Sebagai dimaklumi bahwa dalam sejarah pada abad I dan II tahun hijriah, umat Islam boleh dikatakan dalam masa ke-emasan, sedang memuncak membumbung tinggi. Agama Islam sudah tersebar luas, ke barat sampai ke Maroko dan Spanyol, ke timur sudah sampai Iran, ke Afghanistan ke India selatan, ke Indonesia ke tiongkok dan di afrika sudah hamper sampai ke seluruh daerah.
Pada abad-abad itu yang berkuasa adalah khalifah-khalifah al Rasyidin, khalifah-khalifah bani umayyah dan khalifah-khalifah bani abbas yang terkenal bukan saja dalam keberanian tetapi juga dalam memperkembangkan ilmu pengetahuan.
Dalam masa-masa harus ar Rasyid (170-193 H) dan al makmum (198-218 H) terkenal sebagai masa yang memuncak tinggi kedudukan ilmu pengetahauan.
Dalam agama Islam yang sangat dipatuhi orang ketika itu, baik dalam Hadits-Hadits Nabi maupun didalam Al-Quran banyak sekali terdapat petunjuk-petunjuk yang menganjurkan dan mengarahkan rakyat supaya belajar segalamacam ilmu pengetahuan.
Markas-markas ilmu pengetahuan ketika itu adalah di Mekkah, di Madinah, di Kufah (Iraq), di Sam (Damsyiq) dan di Mesir.
Oleh karena itu seluruh pemuda megidam-ngidamkan dapat tinggal disalah satu kota itu untuk berstudi, untuk mencari ilmu pengetahuan dari yang rendah sampai yang tinggi.
Imam Syafi’I R.A belajar membaca Al-Quran kepada Isma’il bin Qusthanthein. Dalam usia 9 tahun Imam Syafi’I telah menghafal ke tiga puluh juz Al-Quran diluar kepala.
Catatlah ini, yaitu : dal;am usia 9 tahun!
Imam Syafi’I pada mulanya tertarik dengan prosa dan puisi, syair-syair dan sajak-sajak bahasa arab klasik, sehingga beliau sewaktu-waktu dating ke qabilah-qabilah badui dipadang pasir, qabilah hudzeil Dll. Kadang beliau tinggal lama di qabilah-qabilah itu untuk mempelajari sastra arab sehingga akhirnya Imam Syafi’I mahir dalam kesusastraan arab kuno, dan beliau menghafal diluar kepala syair dari imrun-ul-Qois, syair Zuheir, syair jarir dan lain-lain.
Hal ini kemudian ternyata ada baiknya karena dapat menolong beliau memahamkan al-Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih yang asli dan yang murni.
Tersebutlah dalam sejarah yang diceritakan oleh mush’ab bin abdillah az zabiri, sebagai termaktub dalam kitab “al majmu” bahwa Imam Syafi’i pada waktu mudanya hanya tertaroiik kepada puisi, syair-syaior dan sajak bahasa arab klasik, tetapi kemudian beliau terjun mempelajari Hadits dan Fiqh.
Sebabnya ialah bahwa pada suatu hari ia mengendarai onta, dibelakangnya ada orang lain, yaitu juru tulis bapak saya, kata mush’ab.
Muhammad bin Idris (imam Syafi’i) ketika itu berdendang dan bernyanyi mendengungkan sebuah syair.
Juru tulis bapak saya mengetok dan menegurnya dari belakang dan menegurnya : “ah, pemuda seperti kamu menghabiskan waktu kepemudaannya dengan berdendang dan bernyanyi, alangkah baiknya kalau waktu kepemudaanmu ini dipakai untuk mempelajari Hadits dan Fiqih!”
Berkata Mush’ab, bahwa teguran inilah sebab yang menggerakan hati imam syafi’I untuk mempelajari Hadits dan Fiqih dan kemudian beliau dating belajar kepada mufti mekkah, Muslim bin Khalid az zanji dan ulama hadits Sofyan bin ‘uwaniah (w 198 H)
Inilah diantara guru-guru Imam syafi’I R.A dalam ilmu Hadits dan Fiqih. Selain daripada itu Imam Syafi’I menceritakan tentang diri beliau begini :
“saya pada mulanya mempelajari ilmu nahwu (gramatika) dan adab (kesusastraan), kemudian setelah saya dating kepada Muslim bin Khalid, beliau bertanya, hai Muhammad kamu dari mana?
Jawabku : “saya orang sini, orang mekkah”
“dari kampung mana?”
“dari kampung khaif”
“dari kabilah mana?”
“dari kabilah abdu manaf”
“bakhin, bakhin (senang, senang sekali) Tuahn telah memuliakan kamu dunia dan akhirat. Alangkah baiknya kalu kecerdasan kamu itu ditumpahkan pada ilmu fiqih ini lah yang baik bagimu”
Ucapan Imam muslim bin Khalid inilah sebab yang menggerakan hati saya untuk mempelajari ilmu Fiqih sedalam-dalamnya, kata Imam Syafi’i.

Bersambung.. Insya Allah.

No comments:

Post a Comment