Puasa Rajab Bukan Bid’ah Tapi Sunnah
Puasa Rajab Bukan Bid’ah Tapi Sunnah
Bulan ini kita telah memasuki dalam bulan Rajab. Tidak sedikit kaum
Muslimin di Indonesia, yang mentradisikan puasa Sunnah ketika memasuki
bulan-bulan mulia seperti bulan Rajab. Persoalannya, setelah merebaknya
aliran Salafi-Wahabi di Indonesia, beragam tradisi ibadah dan keagamaan
yang telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara, seperti puasa
Sunnah di bulan Rajab selalu dipersoalkan oleh mereka dengan alasan
bid’ah, haditsnya palsu dan alasan-alasan lainnya. Seakan-akan mereka
ingin menghalangi umat Islam dari mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan beribadah puasa. Oleh karena itu tulisan ini, berupaya
menjernihkan hukum puasa Rajab berdasarkan pandangan para ulama yang
otoritatif.
Hukum Puasa Rajab
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.
Pertama, mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan
Syafi’i berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari.
Pendapat ini juga menjadi qaul dalam madzhab Hanbali.
Kedua,
para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh
(30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada
bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang apabila
tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau
dengan berpuasa pada bulan yang lain. Para ulama madzhab Hanbali juga
berbeda pendapat tentang menentukan bulan-bulan haram dengan puasa.
Mayoritas mereka menghukumi sunnah, sementara sebagian lainnya tidak
menjelaskan kesunnahannya.
Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.
Madzhab Hanafi
Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:
في الفتاوي الهندية 1/202 : ( المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ) اه
“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama,
puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan
Sya’ban dan hari Asyura.”
Madzhab Maliki
Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:
(والمحرم ورجب وشعبان ) يعني : أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور
الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم ) اه وفي الحاشية عليه : (
قوله : ورجب ) , بل يندب صوم بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو
القعدة فالحجة ) اه
“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni,
disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan
Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud
perkataan pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua
bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu
Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa
bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah
al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan
al-Taj wa al-Iklil (3/220).
Madzhab Syafi’i
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),
قال الإمام النووي في المجموع 6/439 : ( قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب
صوم الأشهر الحرم , وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم
, قال الروياني في البحر : أفضلها رجب , وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي
سنذكره إن شاء الله تعالى { أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ) اه
“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara
puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul
Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah
Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah
bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah
yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling
utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-Mathalib (1/433),
Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53), Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah
al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitab al-Mughni (3/53):
قال ابن قدامة في المغني 3/53  فصل : ويكره إفراد رجب بالصوم . قال أحمد :
وإن صامه رجل , أفطر فيه يوما أو أياما , بقدر ما لا يصومه كله … قال أحمد
: من كان يصوم السنة صامه , وإلا فلا يصومه متواليا , يفطر فيه ولا يشبهه
برمضان ) اه
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab
dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang
berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari,
sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga
berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di
bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab
terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan
bulan Ramadhan.”
Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’ (3/118):
وفي الفروع لابن مفلح 3/118 : ( فصل : يكره إفراد رجب بالصوم نقل حنبل :
يكره , ورواه عن عمر وابنه وأبي بكرة , قال أحمد : يروى فيه عن عمر أنه كان
يضرب على صومه , وابن عباس قال : يصومه إلا يوما أو أياما … وتزول الكراهة
بالفطر أو بصوم شهر آخر من السنة , قال صاحب المحرر : وإن لم يله .
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal
mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu
Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu
Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa
hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan
berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan
yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata:
“Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”
DALIL PUASA RAJAB Dalil Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah
sebulan penuh, berdalil dengan beberapa banyak hadits dan atsar.
Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:
Pertama,
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak.
Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa
al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):
قال ابن حجر كما في
الفتاوى الفقهية الكبرى 2/53  ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام فإنه سئل
عما نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم
جميعه فقال في جوابه :نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي
نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء
الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه
قربة إلى الله تعالى لما جاء في الأحاديث الصحيحة من الترغيب في الصوم مثل
: قوله صلى الله عليه وسلم { يقول الله كل عمل ابن آدم له إلا الصوم }
وقوله صلى الله عليه وسلم { لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك }
وقوله { إن أفضل الصيام صيام أخي داود كان يصوم يوما ويفطر يوما } وكان
داود يصوم من غير تقييد بما عدا رجبا من الشهور ) اه
“Ibnu Hajar,
(dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang
riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan
mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan
Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab
hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan
melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan
pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang,
sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari
mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh
dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang
dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam
hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi SAW:
“Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya
kecuali puasa”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda
Nabi SAW: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku
Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa
tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”
Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar (4/291):
وقال الشوكاني في نيل الأوطار 4/291 : ( وقد ورد ما يدل على مشروعية صومه
على العموم والخصوص : أما العموم : فالأحاديث الواردة في الترغيب في صوم
الأشهر الحرم وهو منها بالإجماع . وكذلك الأحاديث الواردة في مشروعية مطلق
الصوم … ) اه
“Telah datang dalil yang menunjukkan pada
disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang
bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada
bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan
ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang
disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”
Kedua,
hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain
hadits Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan
(2/322) sebagai berikut ini:
عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها
أنه : أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت
حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي
الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما
إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم
قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال
زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك
صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها )
Dari
Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi
Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya,
sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah,
apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia
menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW
bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia
menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.”
Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau
bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap
bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.”
Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata:
“Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari
dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah
di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan
tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah).
Mengomentari hadits tersebut, Imam
al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439): “Nabi SAW
menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam bulan-bulan haram
tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa
bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang
yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan
haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh
Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Ketiga,
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus.
Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih
diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar
al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini:
في سنن النسائي 4/201 : ( عن أسامة بن زيد قال قلت : يا رسول الله لم أرك
تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب
ورمضان ) اه
“Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin
Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam
bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau
menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara
Rajab dan Ramadhan.”
Mengomentari hadits tersebut, Imam
al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4/291): “Hadits
Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena
yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi SAW
melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana
mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”
Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat
yang menyatakan bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah
puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain.
Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi
Syaibah dan lain-lain.
Dalil Madzhab Hanbali
Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan
puasa Rajab secara penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi
kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang dengan dua cara, pertama,
meninggalkan sehari atau lebih dalam bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua,
berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut tidak
berdampingan dengan bulan Rajab.
Para ulama yang bermadzhab
Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus,
didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid
bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu
beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi
Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias
dha’if).
Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di
bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Berpuasalah
di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di bulan-bulan haram,
dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (HR. Ibn
Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if
oleh Syaikh al-Albani.).
Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW
melarang puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini dinilai
dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra [2/479],
dan lain-lain).
Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa
atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa Umar pernah memukul
orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan lain-lain.
Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para
sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu, dalil-dalil
para ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan lebih
shahih sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
Membongkar Kesesatan Wahabi
No comments:
Post a Comment