Sunday, May 26, 2013

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahir


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله وكفى وسلام على عباده الذين اصطفى وبعد



يقول الله تعالى : “بل نقذف بالحق على الباطل فيدمغه ” الآية

Sebagai pengamalan terhadap ayat ini kami akan menyebutkan penjelasan ringkas dan memadai bagi kaum muslimin tentang suatu kelompok yang telah merubah agama dan menyebarkan kebatilan-kebatilan yang dikenal dengan kelompok Hizbuttahrir, yang didirikan oleh seorang bernama Taqiyuddin an-Nabhani. Ia mengaku ahli ijtihad, ia berbicara tentang agama dengan kebodohan, mendustakan al Qur’an, hadits dan ijma’ baik dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin) maupun dalam masalah furu’.

Berikut ini adalah sebagian kecil dari kesesatan-kesesatannya yang dibantah oleh orang yang memiliki hati yang jernih.

Allah ta’ala berfirman :

إنّا كلّ شىء خلقناه بقدر

Maknanya : “Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan segala sesuatu dengan Qadar”.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

“إنّ الله صانع كل صانع وصنعته” رواه الحاكم والبيهقيّ

Maknanya: “Allah pencipta setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya” (H.R. al Hakim dan al Bayhaqi)

Al Imam Abu Hanifah dalam al Fiqh al Akbar berkata: “Tidak sesuatupun di dunia maupun di akhirat terjadi kecuali dengan kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. Tentang perbuatan hamba, beliau berkata: “Dan dia itu seluruhnya (segala perbuatan manusia) dengan kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. Inilah aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Sedangkan Hizbuttahrir menyalahi aqidah ini. Mereka menjadikan Allah tunduk dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di luar kehendak-Nya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh pimpinan mereka; Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, juz I, bagian pertama, hlm 71-72, sebagai berikut: “Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah, karena perbuatan tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam qadla‘”.

Dalam buku yang sama ia berkata[1]: “Jadi menggantungkan adanya pahala sebagai balasan bagi kebaikan dan siksaan sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa kebenaran dan kesesatan adalah perbuatan murni manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah“. Pendapat serupa juga ia ungkapkan dalam kitabnya berjudul Nizham al Islam[2].

2.Ahl al Haqq sepakat bahwa para nabi pasti memiliki sifat jujur, amanah dan kecerdasan yang sangat. Dari sini diketahui bahwa Allah ta’ala tidak akan memilih seseorang untuk predikat ini kecuali orang yang tidak pernah jatuh dalam perbuatan hina (Radzalah), khianat, kebodohan, kebohongan dan kebebalan. Karena itu orang yang pernah terjatuh dalam hal-hal yang tercela tersebut tidak layak untuk menjadi nabi meskipun tidak lagi mengulanginya. Para nabi juga terpelihara dari kekufuran, dosa-dosa besar juga dosa-dosa kecil yang mengandung unsur kehinaan, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya. Sedangkan dosa-dosa kecil yang tidak mengandung unsur kehinaan bisa saja seorang nabi. Inilah pendapat kebanyakan para ulama seperti dinyatakan oleh beberapa ulama dan ini yang ditegaskan oleh al Imam Abu al Hasan al Asy’ari –semoga Allah merahmatinya–. Sementara Hizbuttahrir menyalahi kesepakatan ini, mereka membolehkan seorang pencuri, penggali kubur (pencuri kafan mayit), seorang homo seks atau pelaku kehinaan-kehinaan lainnya yang biasa dilakukan oleh manusia untuk menjadi nabi.

Inilah di antara kesesatan Hizbuttahrir, seperti yang dikatakan pemimpin mereka, Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah[3]: “…hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka. Adapun sebelum kenabian dan kerasulan boleh jadi mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena keterpeliharaan dari dosa (‘Ishmah) berkaitan dengan kenabian dan kerasulan saja“.

3.Rasulullah menekankan dalam beberapa haditsnya tentang pentingnya taat kepada seorang khalifah. Dalam salah satu haditsya Rasulullah bersabda:

“من كره من أميره شيئا فليصبر عليه فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان فمات عليه إلا مات ميتة جاهليّة ” رواه البخاري ومسلم عن ابن عبّاس

Maknanya: “Barang siapa membenci sesuatu dari amirnya hendak lah ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun membangkang terhadap seorang sultan kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu kecuali matinya adalah mati Jahiliyyah” (H.R. Muslim)

Beliau juga bersabda:

“وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا” رواه البخاري ومسلم

Maknanya: “(kita diperintahkan juga agar) tidak memberontak terhadap para penguasa kecuali jika kalian telah melihatnya melakukan kekufuran yang jelas” (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Ulama Ahlussunnah juga telah menetapkan bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan dengan sebab ia berbuat maksiat, hanya saja ia tidak ditaati dalam kemaksiatan tersebut. Karena fitnah yang akan muncul akibat pelengserannya lebih besar dan berbahaya dari perbuatan maksiat yang dilakukannya. An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, Juz XII, h. 229: “Ahlussunnah sepakat bahwa seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik yang dilakukan olehnya”. Sedangkan Hizbuttahrir menyalahi ketetapan tersebut, mereka menjadikan seorang khalifah sebagai mainan bagaikan bola yang ada di tangan para pemain bola. Di antara pernyataan mereka dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa “Majlis asy-Syura memiliki hak untuk melengserkan seorang khalifah dengan suatu sebab atau tanpa sebab“. Statement ini disebarluaskan dalam selebaran yang mereka terbitkan dan dibagi-bagikan di kota Damaskus sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu. Selebaran tersebut ditulis oleh sebagian pengikut Taqiyyuddin an-Nabhani. Mereka juga menyatakan dalam buku mereka yang berjudul Dustur Hizbuttahrir, h. 66 dan asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II bagian ketiga halaman 107-108 tentang hal-hal/perkara yang dapat merubah status seorang khalifah sehingga menjadi bukan khalifah dan seketika itu wajib dilengserkan : “Perbuatan fasiq yang jelas (kefasikannya)” . An-Nabhani berkata dalam bukunya yang berjudul Nizham al Islam, hlm 79, sebagai berikut : “Dan jika seorang khalifah menyalahi syara’ atau tidak mampu melaksanakan urusan-urusan negara maka wajib dilengserkan seketika“.

4. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

“من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميته جاهليّة” رواه مسلم من حديث عبد الله بن عمر

Maknanya: “Barang siapa mencabut baiatnya untuk mentaati khalifah yang ada di hari kiamat ia tidak memiliki alasan yang diterima, dan barang siapa meninggal dalam keadaan demikian maka matinya adalah mati jahiliyah” (H.R. Muslim)

Maksud hadits ini bahwa orang yang membangkang terhadap khalifah yang sah dan tetap dalam keadaan seperti ini sampai mati maka matinya adalah mati jahiliyyah, yakni mati seperti matinya para penyembah berhala dari sisi besarnya maksiat tersebut bukan artinya mati dalam keadaan kafir dengan dalil riwayat yang lain dalam Shahih Muslim: “فمات عليه” ; yakni mati dalam keadaan membangkang terhadap seorang khalifah yang sah. Hizbuttahrir telah menyelewengkan hadits ini dan mereka telah mencampakan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim yang sanadnya lebih kuat dari hadits pertama:


فالزموا جماعة المسلمين وإمامهم”، قال حذيفة :”فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام” قال رسول الله :

“فاعتزل تلك الفرق كلّها”

Maknanya: “Hiduplah kalian menetap di dalam jama’ah umat Islam dan imam (khalifah) mereka“. Hudzaifah berkata : “Bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam (khalifah) ?”, Rasulullah bersabda : “Maka tinggalkanlah semua kelompok yang ada (yakni jangan ikut berperang di satu pihak melawan pihak yang lain seperti perang yang dulu terjadi antara Maroko dan Mauritania) !”. Rasulullah tidak mengatakan: “jika demikian halnya, maka kalian mati jahiliyyah”. Inilah salah satu kebathilan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya orang yang mati dengan tanpa membaiat seorang khalifah maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” (lihat buku mereka yang berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II bagian III hlm. 13 dan 29). Mereka juga menyebutkan dalam buku mereka yang berjudul al Khilafah h. 4 sebagai berikut: “Maka Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mewajibkan atas tiap muslim untuk melakukan baiat dan mensifati orang yang mati tanpa melakukan baiat bahwa ia mati dalam keadaan mati jahiliyah“. Mereka juga menyebutkan dalam buku mereka yang berjudul al Khilafah hlm. 9 sebagai berikut : “Jadi semua kaum muslim berdosa besar karena tidak mendirikan khilafah bagi kaum muslimin dan apabila mereka sepakat atas hal ini maka dosa tersebut berlaku bagi masing-masing individu umat Islam di seluruh penjuru dunia“. Disebutkan juga pada bagian lain dari buku al Khilafah hlm. 3 dan buku asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz III hlm. 15 sebagai berikut : ”Dan tempo yang diberikan bagi kaum muslimin dalam menegakkan khilafah adalah dua malam, maka tidak halal bagi seseorang tidur dalam dua malam tersebut tanpa melakukan baiat“. Mereka juga berkata dalam buku mereka berjudul ad-Daulah al Islamiyyah hlm. 179: “Dan apabila kaum muslimin tidak memiliki khalifah di masa tiga hari, mereka berdosa semua sehingga mereka menegakkan khalifah“. Mereka juga berkata dalam buku yang lain Mudzakkirah Hizbittahrir ila al Muslimin fi Lubnan, h. 4: “Dan kaum muslimin di Lebanon seperti halnya di seluruh negara Islam, semuanya berdosa kepada Allah, apabila mereka tidak mengembalikan Islam kepada kehidupan dan mengangkat seorang khalifah yang dapat mengurus urusan mereka“.

Dengan demikian jelaslah kesalahan pernyataan Hizbuttahrir bahwa “orang yang mati di masa ini dan tidak membaiat seorang khalifah maka matinya mati jahiliyyah”. Pernyataan Hizbuttahrir ini mencakup orang yang mati sekarang dan sebelum ini sejak terhentinya khilafah sekitar seratus tahun yang lalu. Ini adalah penisbatan bahwa umat sepakat dalam kesesatan dan ini adalah kezhaliman yang sangat besar dan penyelewengan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Ibnu Umar tadi. Jadi menurut pernyataan Hizbuttahrir tersebut setiap orang yang mati mulai terhentinya khilafah hingga sekarang maka matinya adalah mati jahiliyyah, berarti mereka telah menjadikan kaum muslimin yang mati sejak waktu tersebut hingga sekarang sebagai mati jahiliyyah seperti matinya para penyembah berhala, ini jelas kedustaan yang sangat keji. Dan dengan demikian jelaslah kesalahan pernyataan Hizbuttahrir “لا شريعة إلا بدولة الخلافة” : “Tidak ada syari’at kecuali jika ada khilafah”, juga pernyataan sebagian Hizbuttahrir : “لا إسلام بلا خلافة” ; “Tidak ada Islam jika tidak ada khilafah”. Sedangkan Ahlussunnah menyatakan kesimpulan hukum berkaitan dengan masalah khilafah bahwa menegakkan khilafah hukumnya wajib, maka barang siapa tidak melakukannya padahal ia mampu maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah. Adapun rakyat sekarang ini jelas tidak mampu untuk mengangkat seorang khalifah sedangkan Allah ta’ala berfirman :

)لا يكلّف الله نفسا إلاّ وسعها(

Anehnya Hizbuttahrir yang sejak empat puluh tahun lalu selalu menyatakan kepada khalayak akan menegakkan khilafah ini hingga sekarang ternyata mereka tidak mampu menegakkannya, mereka tidak mampu melakukan hal itu sebagaimana yang lain. Adapun pentingnya masalah khilafah itu adalah hal yang diketahui oleh semua dan karya-karya para ulama dalam bidang aqidah dan fiqh penuh dengan penjelasan mengenai hal itu. Tapi yang sangat penting untuk diketahui bahwa khilafah bukanlah termasuk rukun Islam maupun rukun Iman, lalu bagaimana Hizbuttahrir berani mengatakan :

“لا إسلام بلا خلافة” atau mengatakan : “لا إسلام بلا خلافة” , ini adalah hal yang tidak benar dan tidak boleh dikatakan.

5. Nabi Shalallahu alayhi wassallam bersabda:

“والرجل زناها الخطا” رواه البخاري ومسلم وغيرهما

Maknanya: “Zina kaki adalah melangkah (untuk berbuat haram seperti zina)“ (H.R. al Bukhari dan Muslim dan lainnya). Al Imam an-Nawawi menuturkan dalam Syarh shahih Muslim bahwa berjalan untuk berzina adalah haram. Sedangkan Hizbuttahrir telah mendustakan Rasulullah Shalallahu alayhi wassallam dan menghalalkan yang haram . Mereka mengatakan ”tidaklah haram berjalan dengan tujuan untuk berzina dengan perempuan atau berbuat mesum dengan anak-anak (Liwath), yang tergolong maksiat hanyalah melakukan perbuatan zina dan Liwathnya saja“ . Selebaran tentang hal ini mereka bagi–bagikan di Tripoli-Syam tahun 1969. Dan hingga kini kebanyakan penduduk Tripoli masih menyebutkan hal ini, karena pernyataan tersebut menyebabkan kegoncangan, kerancuan dan bantahan dari penduduk Tripoli.

6. Islam menganjurkan ‘iffah (bersih dari segala perbuatan hina dan maksiat) dan kesucian diri, akhlak yang mulia, mengharamkan jabatan tangan antara laki-laki dengan perempuan ajnabi dan menyentuhnya . Nabi bersabda :

“واليد زناها البطش” رواه البخاري ومسلم وغيـرهما

Maknanya: “Zina tangan adalah menyentuh” (H.R al Bukhari, Muslim dan lainnya). Dan dalam riwayat Ahmad : “واليد زناها اللمس“ serta dalam riwayat Ibnu Hibban : “واليد زناؤها اللمس“ . Sementara Hizbuttahrir mengajak kepada perbuatan-perbuatan hina, mendustakan Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam dan menghalalkan yang haram, di antaranya perkataan mereka tentang kebolehan ciuman laki-laki terhadap perempuan yang ajnabi ketika saat perpisahan atau datang dari suatu perjalanan. Demikian juga menyentuh, berjalan untuk berbuat maksiat dan semacamnya.

Mereka menyebutkan hal itu dalam selebaran mereka dalam bentuk soal jawab, 24 Rabiul Awwal 1390 H, sebagai berikut :

S : Bagaimana hukum ciuman dengan syahwat beserta dalilnya?

J : Dapat dipahami dari kumpulan jawaban yang lalu bahwa ciuman dengan syahwat adalah perkara yang mubah dan tidak haram….karena itu kita berterusterang kepada masyarakat bahwa mencium dilihat dari segi ciuman saja bukanlah perkara yang haram, karena ciuman tersebut mubah sebab ia masuk dalam keumuman dalil-dalil yang membolehkan perbuatan manusia yang biasa, maka perbuatan berjalan, menyentuh, mencium dengan menghisap, menggerakkan hidung, mencium, mengecup dua bibir dan yang semacamnya tergolong dalam perbuatan yang masuk dalam keumuman dalil…..makanya status hukum gambar (seperti gambar wanita telanjang) yang biasa tidaklah haram tetapi tergolong hal yang mubah tetapi negara kadang melarang beredarnya gambar seperti itu. Ciuman laki-laki kepada perempuan di jalanan baik dengan syahwat maupun tidak negara bisa saja melarangnya di dalam pergaulan umum. Karena negara bisa saja melarang dalam pergaulan dan kehidupan umum beberapa hal yang sebenarnya mubah. …. di antara para lelaki ada yang menyentuh baju perempuan dengan syahwat, sebagian ada yang melihat sandal perempuan dengan syahwat atau mendengar suara perempuan dari radio dengan syahwat lalu nafsunya bergojolak sehingga zakarnya bergerak dengan sebab mendengar suaranya secara langsung atau dari nyanyian atau dari suara–suara iklan atau dengan sampainya surat darinya ……maka perbuatan-perbuatan ini seluruhnya disertai dengan syahwat dan semuanya berkaitan dengan perempuan. Kesemuanya itu boleh, kerena masuk dalam keumuman dalil yang membolehkannya …….“. Demikian ajaran yang diikuti oleh Hizbuttahrir, Na’udzu billah min dzalika.

Mereka juga menyebutkan dalam selebaran yang lain (Tanya Jawab tertanggal 8 Muharram 1390 H) sebagai berikut :

“Barang siapa mencium orang yang tiba dari perjalanan, laki-laki atau perempuan atau berjabatan tangan dengan laki-laki atau perempuan dan dia melakukan itu bukan untuk berzina atau Liwath maka ciuman tersebut tidaklah haram, karenanya baik ciuman maupun jabatan tangan tersebut boleh“. Mereka juga mengatakan boleh bagi laki-laki menjabat tangan perempuan ajnabi dengan dalih bahwa Rasulullah –kata mereka- berjabatan tangan dengan perempuan dengan dalil hadits Ummi ‘Athiyyah ketika melakukan bai’at yang diriwayatkan al Bukhari, ia berkata :



فقبضت امرأة منا يدها

Maknanya: “Salah seorang di antara kita (perempuan-perempuan) menggenggam tangannya” .

Mereka mengatakan : ini berarti bahwa yang lain tidak menggenggam tangannya. Sementara Ahlul Haqq, Ahlussunnah menyatakan bahwa dalam hadits ini tidak ada penyebutan bahwa perempuan yang lain menjabat tangan Nabi Shalallahu ‘alayhi wasallam, jadi yang dikatakan oleh Hizbuttahrir adalah salah paham dan kebohongan terhadap Rasulullah. Jadi hadits ini bukanlah nash yang menjelaskan hukum bersentuhnya kulit dengan kulit, sebaliknya hadits ini menegaskan bahwa para wanita saat membaiat mereka memberi isyarat tanpa ada sentuh-menyentuh di situ sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhari dalam shahih-nya di bab yang sama dengan hadits Ummi ‘Athiyyah. Hadits ini bersumber dari ‘Aisyah –semoga Allah meridlainya- ia mengatakan :

“كان النبـيّ يبايع النساء بالكلام”

Maknanya: “Nabi membaiat para wanita dengan berbicara” (H.R. al Bukhari)

‘Aisyah juga mengatakan:

“لا والله ما مسّت يده يد امرأة قطّ في المبايعة ، ما يبايعهن إلاّ بقوله قد بايعتك على ذلك”

Maknanya: “Tidak, demi Allah tidak pernah sekalipun tangan Nabi menyentuh tangan seorang perempuan ketika baiat, beliau tidak membaiat para wanita kecuali hanya dengan mengatakan : aku telah menerima baiat kalian atas hal-hal tersebut” (H.R. al Bukhari)

Lalu mereka berkata : “Cara melakukan bai’at adalah dengan berjabatan tangan atau melalui tulisan. Tidak ada bedanya antara kaum laki-laki dengan perempuan; Karena kaum wanita boleh berjabat tangan dengan khalifah ketika baiat sebagaimana orang laki-laki berjabatan tangan dengannya“.

(baca : buku al Khilafah, hlm. 22-23 dan buku mereka yang berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II, bagian 3, hlm. 22-23 dan Juz III, hlm. 107-108). Mereka berkata dalam selebaran lain (tertanggal 21 Jumadil Ula 1400 H / 7 April 1980) dengan judul : “Hukum Islam tentang jabatan tangan laki-laki dengan perempuan yang ajnabi“, setelah berbicara panjang lebar dikatakan sebagai berikut : “Apabila kita memperdalam penelitian tentang hadits-hadits yang dipahami oleh sebagian ahli fiqh sebagai hadits yang mengharamkan berjabatan tangan, maka akan kita temukan bahwa hadits-hadits tersebut tidak mengandung unsur pengharaman atau pelarangan“. Kemudian mereka mengakhiri tulisan dalam selebaran tersebut dengan mengatakan :

“Yang telah dikemukakan tentang kebolehan berjabat tangan (dengan lawan jenis) adalah sama halnya dengan mencium”

Pimpinan mereka juga berkata dalam buku berjudul an-Nizham al Ijtima’i fi al Islam, hlm. 57 sebagai berikut : “Sedangkan mengenai berjabat tangan, maka dibolehkan bagi laki-laki berjabatan tangan dengan perempuan dan perempuan berjabatan tangan dengan laki-laki dengan tanpa penghalang di antara keduanya“. Dan ini menyalahi kesepakatan para ahli fiqh. Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

“إنّي لا أصافح النساء”

Maknanya: “Aku tidak akan pernah menjabat tangan para wanita” (H.R. Ibnu Hibban)

Ibnu Manzhur dalam Lisan al ‘Arab mengatakan: “Baaya’ahu ‘alayhi mubaya’ah (membaiatnya): artinya berjanji kepadanya. Dalam hadits dinyatakan:

ألا تبايعونـي على الإسلام ;

tidakkah kalian berjanji kepadaku untuk berpegang teguh dengan Islam. Jadi baiat adalah perjanjian”. Jadi tidaklah disyaratkan untuk disebut baiat secara bahasa maupun istilah syara’ bahwa pasti bersentuhan antara kulit dengan kulit, tetap disebut baiat meskipun tanpa ada persentuhan antara kulit dengan kulit. Ketika para sahabat membaiat Nabi pada Bai’at ar-Ridlwan dengan berjabat tangan hanyalah untuk bertujuan ta’kid (menguatkan). Baiat kadang juga dilakukan dengan tulisan.

8. Di antara dalil Ahlussunnah tentang keharaman menyentuh perempuan ajnabiyyah tanpa ha-il (penghalang) adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam :

َ”لأنْ يُطْعَنَ أحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ” (رَوَاهُ الطّبَرَانـي فِي المُعْجَم الكَبِيْرِ مِنْ حَدِيْثِ مِعْقَلٍ بْنِ يَسَارٍ وَحَسّنَهُ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ وَنُورُ الدّيْن الهَيْثَمِي وَالمُنْذِري وَغَيْرُهُمْ)

Maknanya : “Bila (kepala) salah seorang dari kalian ditusuk dengan potongan besi maka hal itu benar-benar lebih baik baginya daripada memegang perempuan yang tidak halal baginya”. (H.R. ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadits ini hasan menurut Ibnu Hajar, Nuruddin al Haytsami, al Mundziri dan lainnya)

Pengertian al Mass dalam hadits ini adalah menyentuh dengan tangan dan semacamnya sebagaimana dipahami oleh perawi hadits ini, Ma’qil bin Yasar seperti dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf.

Sedangkan Hizbuttahrir menganggap hadits ath-Thabarani tersebut yang mengharamkan berjabatan tangan dengan perempuan ajnabiyyah termasuk khabar Ahad dan tidak bisa dipakai untuk menentukan suatu hukum.

Ini adalah bukti kebodohan mereka. Bantahan terhadap mereka adalah pernyataan para ulama ushul fiqh yang menegaskan bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segala masalah keagamaan seperti dinyatakan oleh al Imam al ushuli al mutabahhir Abu Ishaq asy-Syirazi. Beliau menyatakan dalam bukunya at-Tabshirah : “(Masalah) Wajib beramal dengan khabar ahad dalam pandangan syara’ “. Bahkan an-Nawawi dalam syarh shahih Muslim menukil kehujjahan khabar ahad ini dari mayoritas kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi-generasi setelah mereka dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul fiqh. Kemudian ia membantah golongan Qadariyyah Mu’tazilah yang tidak mewajibkan beramal dengan khabar ahad. Lalu an-Nawawi mengatakan : “Dan Syara’ telah mewajibkan beramal dengan khabar ahad”.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa Hizbuttahrir sejalan dengan Mu’tazilah dan menyalahi Ahlussunnah. Yang aneh, Hizbuttahrir telah berpendapat demikian, tetapi dalam karangan-karangan mereka berdalil dengan hadits-hadits ahad yang sebagiannya adalah dla’if. Mereka juga mengutip cerita-cerita dan atsar dari buku-buku yang tidak bisa dijadikan rujukan dalam bidang hadits, tafsir. Bahkan mereka telah berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Dalam majalah mereka Al Wa’ie, edisi 98, Tahun IX Muharram 1416 H mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :

الساكت عن الحقّ شيطان أخرس

“Orang yang diam dan tidak menjelaskan kebenaran adalah setan yang bisu”.

Kita katakan kepada mereka : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda :

إنّ كذبا عليّ ليس ككذب على أحد

Maknanya : “Sesungguhnya berdusta atasku tidaklah seperti berdusta atas siapapun”.

Pernyataan di atas adalah perkataan Abu ‘Ali ad-Daqqaq, seorang sufi besar seperti diriwayatkan oleh al Imam al Qusyairi dalam ar-Risalah dan bukan perkataan Rasulullah. Ini juga merupakan bukti akan kebodohan mereka bahkan dalam menukil hadits sekalipun. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati dan tidak tertipu oleh karangan-karangan mereka.



9 . Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda dalam sebuah Hadits yang mutawatir :

ورب حامل فقه إلى من هو أًفقه منه”“

Maknanya : “Seringkali terjadi orang yang menyampaikan hadits kepada orang yang lebih memahaminya darinya“

Hadits ini menjelaskan bahwa manusia terbagi dalam dua tingkatan :

Pertama : orang yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur’an dan hadits) dan berijtihad dan yang kedua : mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat ummat Islam, ada di antara mereka yang mujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam asy-Syafi’i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid.

Sedangkan Hizbuttahrir, mereka menyalahi hadits dan membuka pintu fatwa dengan tanpa ilmu dan tidak mengetahui syarat-syarat ijtihad. Pernyataan-pernyataan Hizbuttahrir semacam ini banyak terdapat dalam buku-buku mereka. Mereka mendakwakan bahwa seseorang apabila sudah mampu beristinbath maka ia sudah menjadi Mujtahid, karena itulah ijtihad atau istinbath mungkin saja dilakukan oleh semua orang dan mudah diusahakan dan dicapai oleh siapa saja, apalagi pada masa kini telah tersedia di hadapan semua orang banyak buku tentang bahasa Arab dan buku-buku tentang syari’at Islam. Yang disebutkan ini adalah redaksi pernyataan mereka (lihat kitab at-Tafkir, h. 149). Pernyataan ini membuka pintu untuk berfatwa tanpa didasari oleh ilmu dan ajakan kepada kekacauan dalam urusan agama. Sedangkan yang disebut mujtahid adalah orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad dan diakui oleh para ulama lain bahwa ia telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Sementara pimpinan Hizbuttahrir, Taqiyyuddin an-Nabhani tidak pernah diakui oleh seorangpun di antara para ulama yang memiliki kredibilitas bahwa ia telah memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut atau bahkan hanya mendekati sekalipun. Jika demikian mana mungkin Taqiyyuddin menjadi seorang mujtahid ?!. Seseorang baru disebut mujtahid jika ia memiliki perbendaharaan yang cukup tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum, mengetahui teks yang ‘Amm dan Khashsh, Muthlaq dan Muqayyad, Mujmal dan Mubayyan, Nasikh dan Mansukh, mengetahui bahwa suatu hadits termasuk yang Mutawatir atau Ahad, Mursal atau Muttashil, ‘Adalah para perawi hadits atau jarh, mengetahui pendapat-pendapat para ulama mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi-generasi setelahnya sehingga mengetahui ijma’ dan yang bukan, mengetahui qiyas yang Jaliyy, Khafiyy, Shahih dan Fasid, mengetahui bahasa Arab yang merupakan bahasa al Qur’an dengan baik, mengetahui prinsip-prinsip aqidah. Juga disyaratkan seseorang untuk dihitung sebagai mujtahid bahwa dia adalah seorang yang adil, cerdas dan hafal ayat-ayat dan hadits-hadits hukum.

10. Para Ulama Islam menjelaskan dalam banyak kitab tentang definisi Dar al Islam dan Dar al Kufr. Mayoritas Ulama mengatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin kemudian keadaannya berubah sehingga orang-orang kafir menguasainya, maka negeri tersebut tetap disebut negeri Islam (Dar al Islam ). Adapun menurut Abu Hanifah bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin kemudian orang-orang kafir menguasainya, maka negeri itu berubah jadi Dar Kufr dengan tiga syarat.

Adapun Hizbuttahrir menyalahi seluruh Ulama, mereka menyebutkan dalam salah satu buku mereka Kitab Hizbuttahrir, hlm. 17 pernyataan sebagai berikut : “Daerah-daerah yang kita tempati sekarang ini adalah Dar Kufr sebab hukum-hukum yang berlaku adalah hukum-hukum kekufuran. Kondisi ini menyerupai kota Mekkah, tempat diutusnya Rasulullah“.

Pada bagian yang lain kitab Hizbuttahrir, hlm. 32: “Dan di negeri-negeri kaum muslimin sekarang tidak ada satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan-urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung Dar Kufr meskipun penduduknya adalah kaum muslimin“.

Lihatlah wahai pembaca, bagaimana berani mereka menyelewengkan ajaran agama ini dan menjadikan semua negara yang dihuni oleh kaum muslimin sebagai Dar Kufr termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah kaum muslim terbesar di dunia.

Referensi

[1] Ibid, Juz I, Bag. Pertama, hlm. 74

[2] Kitab bernama Nizham al Islam, hlm. 22

[3] Kitab bernama as-Sakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I, Bag. Pertama, hlm 120

[4] Catatan pages Aqidah Ahlussunnah


http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=557995404244119&id=525519780825015

No comments:

Post a Comment