DALIL-DALIL MAULUD
1. Merayakan maulid termasuk dalam membesarkan
kelahiran para Nabi. Hal yang berkenaan dengan kelahiran Nabi merupakan
sesuatu yang memiliki nilai yang lebih, sebagaimana halnya tempat
kelahiran para nabi.
Dalam Al quran sendiri juga disebutkan doa
sejahtera pada hari kelahiran para Nabi seperti kata Nabi Isa dalam
firman Allah surat Maryam ayat 33:
وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ
وُلِدْتُ
“dan kesejahteraan atasku pada hari kelahirannku”.
Maka Rasulullah juga lebih berhak untuk mendapatkan doa sejatera pada
hari kelahiran beliau.
Dalam Al Quran, Allah juga tersebut
perintah untuk mengingat hari-hari bersejarah, hari dimana Allah
menurunkan nikmat yang besar pada hari tersebut, seperti dalam firman
Allah surat Ibrahim ayat 5:
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“dan
ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah, Sesunguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang
penyabar dan banyak bersyukur.”
Dan juga dalam surat Al
Jatsiyah ayat 14:
قُلْ لِلَّذِينَ آمَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ
لا يَرْجُونَ أَيَّامَ اللَّهِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang
beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut
hari-hari Allah”
Dalam ayat tersebut Allah menyuruh untuk
mengingat hari-hari Allah, secara dhahir hari yang dimaksud adalah hari
kesabaran dan penuh syukur dan yang diharapkan dari hari tersebut adalah
barakah yang Allah ciptakan pada hari tersebut, karena hari hanyalah
satu makhluk Allah yang tidak mampu memberi manfaat dan mudharat.
Dalam surat Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ
وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
Katakanlah: "Dengan kurnia
Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk senang dengan nikmat Allah.
Maka tiada rahmat dan nikmat yang lebih besar dari pada kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Beliau sendiri mengatakan:
أنا الرحمة المهداة
2. Kisah Suwaibah Aslamiyah yang dimerdekakan oleh Abu Lahab karena
kegembiraannya terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setahun setelah Abu
lahab meninggal, salah satu saudaraya yang juga merupakan paman
Rasulullah, Saidina Abbas bin Abdul Muthallib bermimpi bertemu dengannya
dan menanyakan bagaimana keadaan Abu Lahab, ia menjawab “bahwa tidak
mendapat kebaikan setelahnya tetapi ia mendapat minuman dari bawah ibu
jarinya pada setiap hari senin karena ia memerdekakan Suwaibah Aslamiyah
ketika mendengar kabar gembira kelahiran Nabi Muhammad”. Hadis ini
tersebut dalam Shaheh Bukhary dengan nomor 4711. kisah ini juga
disebutkan oleh Ibnu Kastir dalam kitab beliau Al Bidayah An Nihayah
jilid 2 hal 273.
Ini adalah balasan yang Allah berikan terhadap
orang yang menjadi musuhNya dan mendapat celaan dalam Al Quran. Apalagi
terhadap orang-orang mukmin yang senang terhadap kelahiran baginda
Rasulullah SAW.
3. Rasulullah sendiri pernah merayakan hari
kelahiran beliau sendiri yaitu dengan berpuasa pada hari senin. Ketika
ditanyakan oleh para shahabat beliau menjawab:
فيه ولدت وفيه أُنزل
عليَّ
“itu adalah hari kelahiranku dan hari diturunkan wahyu
atasku”.(H.R. Muslim)
Hadis ini tersebut dalam kitab Shaheh
Muslim jilid 2 hal 819. Hadis ini menjadi landasan yang kuat untuk
pelaksanaan maulid walaupun dengan cara yang berbeda bukan dengan
berpuasa seperti Rasululah melainkan dengan memyediakan makanan dan
berzikir dan bershalawat, namun ada titik temunya yaitu mensyukuri
kelahiran Rasulullah saw. Imam As Sayuthy menjadikan hadis ini sebagai
landasan dibolehkan melaksanakn maulid Nabi.
4. Allah berfirman
dalam surat Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ
فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah:
"Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan".
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan
untuk senang terhadap semua karunia dan rahmat Allah, termasuk salah
satu rahmaNya yang sangat besar adalah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
dalam firman Allah surat Al Anbiya ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Bahkan
sebagian ahli tafsir mengatakan kalimat rahmat pada surat Yunus ayat 58
dimaksudkan kepada Nabi Muhammad dengan menjadikan surat Al Anbiya ayat
107 sebagai penafsirnya, sebagaimana terdapat dalam tafsir Durar Al
Manstur karangan Imam As Sayuthy, tafsir Al Alusty fi Ruh Al Ma`any dan
tafsir Ibnul Jauzy.
Jadi dalam ayat tersebut terdapat perintah
untuk terhadap datangnya Rasulullah SAW, kesenangan tersebut dapat
diungkapkan dengan berbagai macam cara baik menyediakan makanan kepada
orang lain, bersadaqah, berkumpul sambil berzikir dan bershalawat dll.
B. Perayaan Mulid Dan Kontroversial Ma’na Bid’ah
Peryataan bahwa
perayaan maulid Nabi adalah amalan bida’h adalah peryataan sangat tidak
tepat, karena bida’h adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam
Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari al-Quran dan
as-Sunah, adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan
tetapi memiliki landasan dari al-Quran dan as-Sunah.
Di dalam maulid
Nabi didalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur,
membaca dan mendengarkan bacaan al Quran, bersodaqoh, mendengarkan
mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan
keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi
bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya
di dalam al-Quran dan as-Sunah.
1. Pengkhususan Waktu
Ada yang
menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid’ah adalah adanya
pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu
bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat.
Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang
dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau
menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan
kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan
dari syar’iy sendiri(Dr. Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir.
hal.27). Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi
pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama
sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak
boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan
kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan
dan tidak bercampur dengan maksiat. Pengkhususan waktu maulid disini
bukan kategori takhsis yang di larang syar’iy tersebut, akan tetapi
masuk kategori tartib(penertiban) buktinya adalah banyak ulama’ yg
merayakan mauled itu beberapa minggu setelah bulan rabi’ulawwal dll.
Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan,
Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan
berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi
Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau
dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat disana (HR.Bukhori dan
Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: “bahwa hadis ini
disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan
sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal solihah dan dilakukan terus
menerus”.(Fathul Bariy.3 hal. 84) Imam Nawawi juga berkata senada di
dalam kitab Syarah Sohih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan
waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat
Allah,( yaitu datangnya Nabi saw) pada hari Jumat atau mereka
menyebutnya Yaumul ‘Urubah dan direstui Nabi. Jadi dapat difahami, bahwa
pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro’ Mi’roj dan yang lainya hanyalah
untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui,
tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau
pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang
kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini
diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila
kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan
dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.
Acara maulid diluar bulan
Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan
kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat
yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren,
hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia
masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di
negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu
yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak
hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti
cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat. Semisal
di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan
sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu
meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni
budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang
meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain
bulan Rabiul Awal maka kami sepakat ini adalah bid’ah dholalah.
2.Tidak Pernah Dilakukan Zaman Nabi Atau Sahabat.
Diantara orang
yang mengatakan maulid adalah bid’ah adalah karena acara maulid tidak
pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul
dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat)
dari al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau
Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-Tark – dan tidak ada
keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut
ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk
melarang atau mewajibkan. Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah
adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliu. Adapun at-Tark
tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat
mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan
hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan
kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:
Nabi meniggalkan sesuatu karena
hal tersebut sudah masuk didalam ayat atau hadis yang maknanya umum,
seperti sudah masuk dalam makna ayat :”dan perbuatlah kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenangan”(QS. Al-Haj:77). Kebajikan maknanya adalah umum
dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.
Nabi meninggalkan
sesutu karena takut jika hal itu beliu lakukan akan dikira umatnya bahwa
hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi
meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sohabat karena khawatir
akan dikira sholat terawih adalah wajib.
Nabi meninggalkan sesuatu
karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliu
katakan pada siti Aisyah:” Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk
Islam sungguh akan aku robohkan ka’bah dan kemudian saya bangun kembali
dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka’bah
menjadi pendek”(HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meningglakan untuk
merekontrusi ka’bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak
terganggu.
Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya,
seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi
mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata:” itu
biawak!”, maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya:”
apakah biawak itu haram? Nabi menjawab:”tidak, saya belum pernah
menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!”(hr. Bukhori dan Muslim)
hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah
sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau
dilarang.
Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan
yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang
diutamai(mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan
yang lain(untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu
Tafahum wa ad Dark limasalati at-Tark)
Dan Nabi bersabda:” Apa yang
dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang
diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan
maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan
sesuatu, kemudian Nabi membaca:” dan tidaklah Tuhanmu lupa”.(HR. Abu
Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda:”Sesungguhnya Allah menetapkan
kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan
maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau
melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat
bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya”.(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:”. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya”.(QS.Al Hasr:7) dan Dia tidak berfirman dan apa yang
ditinggalknya maka tinggalkanlah. Maka dapat disimpulkan bahwa “at-Tark”
tidak memeberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan
alasan karena tidak dilakukan Nabi dan s
ahabat sama dengan
berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
Imam Suyuti
menjawab peryataan orang yang mengatakan:” saya tidak tahu bahwa maulid
ada asalnya di Kitab dan Sunah” dengan jawaban:” tidak mengetahui dalil
bukan berarti dalil itu tidak ada”, peryataannya Imam Suyutiy ini
didasarkan karena dia sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu
mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah.( Syekh Ali Jum’ah.
Al-Bayan al-Qowim.hal.28)
C. Pendapat Ulama-Ulama Klasik dan
Konteporer tentang Maulid
1.Imam Yahya Bin Syorof an-Nawawiy
“Dan yang terbaik diantara sesuatu yang baru di zaman kita ini adalah
apa yang dilakukan setiap tahun, yaitu pada hari kelahiran Nabi (Maulid
Nabi) yang berisi shodaqoh, menampilkan keindahan dan kebahagiaan. Hal
tersebut adalah bentuk rasa cinta dan memulyakan Nabi di dalam hati
orang melakukan maulid dan bentuk ugkapan syukur kepada Allah atas
anugrah yang beliau berikan yaitu menciptakan Nabi Muhammad untuk
menjadi rahmat untuk seluruh alam” (Al-Ba’is ala Inkarilbida’ wal
Hawadis. Hal. 3)
2. Al Hafidz Imam as-Suyutiy
“Ada sebuah
pertanyaan tentang acara maulid Nabi di bulan Robiul Awal, apakah
hukumnya menurut syariat, apakah terpuji atau tercela? Apakah orang yang
melakukannya mendapat pahala atau tidak? Jawaban saya adalah … maulid
Nabi termasuk bid’ah hasanah yang bagi pelakunya akan mendapat pahala,
di karnakan di dalamnya ada rasa mengagungkan Rasul dan memperlihatkan
kebahagian karena lahirnya Nabi Muhammad”.(Al Hawi lilfatawa/2. hal.
221)
3. Ibnu Taimiyah
“Dan maulid adalah sesuatu yang baru yang
di buat sebagian manusia, munkin untuk menyaingi Nasrani di dalam Milad
Nabi Isa as. atau karena rasa cinta dan memulyakan Nabi, sungguh Allah
akan memberi pahala atas rasa cinta dan kesungguhan ini”(Iqtidho
Shirotil Mustaqim. Hal. 266)
Dan ulama-ulama lain yang menyatakan
dianjurkannya maulud atau mengarang kitab tentang maulid Nabi adalah:
Ibnu Hajar al Asqolani (lih. Al Hawi Lilfatawa), Al Hafidz al Iroqiy
(lih.Al-maulud al-Haniy fi al-Maulid an-Nabawiy), Ibnu Jauziy
(lih.Mauludul Urus), Ibnul Haj al-Malikiy( Al-Madkhol), Ibnu Katsir,
Imam Sakhowi, Imam Qostholaniy, Imam as-Subkiy, Dr. Yusuf
Qordhowiy(Mufti Qatar), Dr. Sa’id Romadhon al-Buthiy, Sayid Muhamad Bin
Alawi al Malikiy, Saikh Ahmad Bin Abdul Aziz al-Mubarok(Mufti Emirat
Arab),Saikh Isa Bin Abdullah Al Humairiy(ketua majlis Fatwa dan kajian
Pemerintahan Dubai), Syaikh Ali Jum’ah(Mufti Mesir) Sayed Ali
Mashur(Mufti Hadhromaut) dll.
Waallahu a’lam
No comments:
Post a Comment