[V] Mereka menulis Syarah terhadap Karya-karya Ulama Ahlussunnah dengan penjelasan-penjelasan menyimpang
Ibnu Abi al ‘Izz yang menulis Syarh al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah dengan dipenuhi akidah tasybih dan paham-paham Ibnu Taimiyah.[1]
Ibnu Abi al ‘Izz mengawali syarahnya dengan memuji Abu Hanifah dengan mengatakan:[2]
(أَمَّا بَعْدُ) فَإِنَّـهُ لَمَّا كَانَ عِلْمُ أُصُوْلِ الدِّيْنِ أَشْرَفَ العُلُوْمِ، إِذْ شَرَفُ العِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُوْمِ، وَهُوَ الفِقْهُ الأَكْبَرُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى فِقْهِ الفُرُوْعِ، وَلِهذَا سَمَّى الإِمَامُ أَبُوْ حَنِيْـفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى مَا قَالَـهُ وَجَمَعَهُ فِيْ أَوْرَاقٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ الفِقْهَ الأَكْبَرَ.
“Ketika ilmu Ushuluddin adalah ilmu yang paling mulia, karena keutamaan ilmu tergantung pada kemuliaan pembahasannya, ilmu Ushuluddin adalah al Fiqh al Akbar dibandingkan dengan ilmu Furu’, oleh karenanya al Imam Abu Hanifah menamakan apa yang beliau katakan dan dia himpun dalam beberapa halaman tentang ushuluddin, beliau namakan al Fiqh al Akbar.”
Kemudian Ibnu Abi al ‘Izz mengesankan bahwa dirinya sangat mengapresiasi ath-Thahawi, Abu Hanifah dan kedua sahabatnya, bahwa mereka-lah para ulama yang menjaga akidah ummat:[3]
وَقَدْ بَلَّغَ الرَّسُـوْل صلى الله عليه وسلم البَلاَغَ الْمُبِيْنَ، وَأَوْضَحَ الْحُجَّةَ لِلْمُسْتَبْصِرِيْنَ، وَسَلَكَ سَبِيْلَهُ خَيْرُ القُرُوْنِ، ثُمَّ خَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلَفٌ اتَّبَـعُوْا أَهْوَاءَهُمْ وَافْتَرَقُوْا، فَأَقَامَ اللهُ لِهذِهِ الأُمَّـةِ مَنْ يَحْفَظُ عَلَيْهَا أُصُوْلَ دِيْنِهَا كَمَا أَخْبَرَ الصَّادِقُ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ"، وَمِمَّنْ قَامَ بِهذَا الْحَقِّ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ الإِمَامُ أَبُوْ جَعْفَرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلاَمَةَ الأَزْدِيُّ الطَّحَاوِيُّ تَغَمَّدَهُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ بَعْدَ الْمِائَتَيْنِ، فَإِنَّ مَوْلِدَهُ سَنَةَ تِسْعٍ وَثَلاَثِيْنَ وَمِائَتَيْنِ وَوَفَاتُـهُ سَنَةَ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ وَثَلاَثِمِائَةٍ، فَأَخْبَرَ رَحِمَهُ اللهُ عَمَّا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ، وَنَقَلَ عَنِ الإِمَامِ أَبِيْ حَنِيْـفَةَ النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الكُوْفِيِّ، وَصَاحِبَيْهِ أَبِيْ يُوْسُفَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ الْحِمْيَرِيِّ الأَنْصَارِيِّ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الشَّيْبَانِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَا كَانُوْا يَعْتَقِدُوْنَ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَيَدِيْنُوْنَ بِـهِ رَبَّ العَالَمِيْنَ.
“Rasulullah telah melakukan tabligh dengan sebaik-baiknya, ia telah jelaskan hujjah bagi para pencari kebenaran. Jalan ini diikuti oleh generasi –generasi terbaik, kemudian mereka disusul oleh generasi belakangan yang mengikuti nafsu mereka dan mereka-pun terpecah belah, maka Allah tegakkan untuk ummat ini orang yang menjaga prinsip-prinsip agama mereka sebagaimana diberitakan oleh Nabi r: “Akan selalu ada sekelompok dari ummatku yang teguh dalam kebenaran, tidak berbahaya kepada mereka orang-orang yang tidak membantu mereka.” Di antara mereka yang menegakkan kebenaran ini di antara para ulama Islam adalah al Imam Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Salamah al Azdi ath-Thahawi –semoga Allah merahmatinya- setelah tahun 200 H, karena beliau lahir tahun 239 H dan meninggal tahun 321 H, maka ath-Thahawi memberitakan tentang akidah para ulama salaf, dan menukil dari al Imam Abu Hanifah dan kedua sahabatnya; Abu Yusuf dan Muhammad ibn al Hasan apa yang dahulu mereka yakini tentang ushuluddin dan mereka peluk sebagai agama kepada Rabbul ‘alamin.”
Kemudian dua halaman setelahnya kita dikejutkan dengan keberanian Ibnu Abi al ‘Izz menentang Imam Abu Hanifah yang sebelumnya ia puji setinggi langit, Ibnu Abi al ‘Izz menyatakan:[4]
وَالسَّلَفُ لَمْ يَكْرَهُوْا التَّكَلُّمَ بِالْجَوْهَرِ وَالْجِسْمِ وَالعَرَضِ وَنَحْوِ ذلِكَ لِمُجَرَّدِ كَوْنِـهِ اصْطِلاَحًا جَدِيْدًا عَلَى مَعَانٍ صَحِيْحَةٍ، كَالاصْطِلاَحِ عَلَى أَلْفَاظِ العُلُوْمِ الصَّحِيْحَةِ وَلاَ كَرِهُوْا أَيْضًا الدَّلاَلَـةَ عَلَى الْحَقِّ وَالْمُحآجَّةِ لأَهْلِ البَاطِلِ بَلْ كَرِهُوْهُ لاشْتِمَالِـهِ عَلَى أُمُوْرٍ كَاذِبَـةٍ مُخَالِفَةٍ لِلْحَقِّ، وَمِنْ ذلِكَ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّـنَّةِ.
“Para ulama salaf membenci berbicara dengan jawhar, jism dan ‘aradl dan semacamnya bukan sekedar karena itu adalah istilah baru yang menunjukkan kepada makna-makna yang sahih seperti halnya istilah-istilah yang benar dalam berbagai ilmu, mereka juga bukannya membenci penunjukan kepada yang haq dan mendebat ahlul bathil, tetapi mereka membenci itu karena mengandung perkara-perkara yang dusta dan menyalahi kebenaran, juga menyalahi al Qur’an dan sunnah.”
Padahal Ibnu Abi al ‘Izz tahu persis bahwa al Imam Abu Hanifah yang ia puji sebelumnya menegaskan dalam al Fiqh al Akbar –yang ia singgung di pendahuluan dengan untaian pujiannya-:
وَهُوَ شَىْءٌ لاَ كَالأَشْيَاءِ، وَمَعْنَى الشَّىْءِ إِثْـبَاتُـهُ بِلاَ جِسْمٍ وَلاَ جَوْهَرٍ وَلاَ عَرَضٍ، وَلاَ حَدَّ لَـهُ وَلاَ ضِدَّ لَهُ وَلاَ نِدَّ لَهُ وَلاَ مِثْلَ لَهُ.
“Allah adalah sesuatu yang ada tapi tidak seperti semua yang ada, makna syai’ adalah menetapkan adanya Allah tanpa berupa jism, jauhar dan ‘aradl, tidak berlaku hadd bagi-Nya, tidak ada lawan, bandingan dan serupa bagi-Nya.”
Ibnu Abi al ‘Izz tahu persis manhaj Abu Hanifah dan tahu persis ath-Thahawi mengikutinya dalam menegaskan tanzih dan para Syurrah ath-Thahawiyyah juga menjelaskan yang sama. Ibnu Abi al ‘Izz mengatakan:
وَقَدْ شَرَحَ هذِهِ العَقِيْدَةَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ العُلَمَاءِ، وَلكِنْ رَأَيْتُ بَعْضَ الشَّارِحِيْنَ قَدْ أَصْغَى إِلَى أَهْلِ الكَلاَمِ الْمَذْمُوْمِ، وَاسْتَمَدَّ مِنْهُمْ وَتَكَلَّمَ بِعِبَارَاتِهِمْ.
“Aqidah Thahawiyyah ini tidak sedikit ulama yang menyusun syarah terhadapnya, tetapi aku melihat sebagian ulama yang menyusun syarah tersebut telah mengikuti ahli kalam yang tercela, mengambil dari mereka dan berbicara dengan kalimat-kalimat dan istilah-istilah mereka.”
Dan para ulama Ahlussunnah seterusnya menegaskan hal yang sama. Al Imam al Halimi dan al Hafizh al Bayhaqi menyatakan:[5]
وَالثَّالِثُ إِثْبَاتُ أَنَّـهُ لَيْسَ بِجَوْهَرٍ وَلاَ عَرَضٍ لِيَقَعَ بِـهِ البَرَاءَةُ مِنَ التَّشْبِـيْهِ.
“Ke tiga: Penetapan bahwa Allah bukan jawhar (benda) dan bukan ‘aradl (sifat-sifat benda) agar dengannya terbebas dari tasybih (keyakinan batil bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya).”
Oleh karenanya tidak heran jika al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh al Ihya’ berkomentar tentang Syarh Ibnu Abi al ‘Izz ini:
وَلَمَّا تَأَمَّلْتُهُ حَقَّ التَّأَمُّلِ وَجَدْتُـهُ كَلاَمًا مُخَالِفًا لأُصُوْلِ مَذْهَبِ إِمَامِهِ، وَهُوَ فِي الْحَقِيْقَةِ كَالرَّدِّ عَلَى أَئِمَّةِ السُّـنَّةِ، كَأَنَّهُ تَكَلَّمَ بِلِسَانِ الْمُخَالِفِيْنَ، وَجَازَفَ وَتَجَاوَزَ عَنِ الْحُدُوْدِ، حَتَّى شَـبَّهَ قَوْلَ أَهْلِ السُّـنَّةِ بِقَوْلِ النَّصَارَى، فَلْيُتَـنَبَّهْ لِذلِكَ.
“Ketika aku merenungkan Syarh al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi al ‘Izz secara mendalam aku dapati perkataannya menyalahi prinsip-prinsip madzhab akidah imamnya, dan sebetulnya buku itu adalah bantahan terhadap para ulama sunnah seakan dia berbicara dengan lidah musuh-musuh Ahlussunnah, ia berlebihan dan melampaui batas sampai-sampai ia menyerupakan perkataan Ahlussunnah dengan perkataan orang-orang nasrani, oleh karenanya hendaklah hal ini diperhatikan dan diwaspadai.”
Memang Syarh al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi al ‘Izz ini berbeda dengan semua syarah-syarah Thahawiyyah yang berjumlah belasan yang semuanya berisi penjelasan akidah Ahlussunnah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.[6]
Ibnu ‘Utsaimin menulis Syarah terhadap Kitab Riyadl ash-Shalihin karya an-Nawawi, demikian pula Salim bin ‘Ied al Hilali dengan Bahjah an-Nazhirin. Kemudian al Hilali ini membantah sebagian isi Riyadl ash-Shalihin seperti masalah membaca al Qur’an di dekat kuburan yang ditegaskan oleh asy-Syafi’i dan dikutip oleh an-Nawawi dalam Riyadl ash-Shalihin. An-Nawawi setelah menyebut dua hadits di bawah bab: Kitab ‘Iyadah al Maridl, Bab ad-Du’a Li al Mayyit ba’da Dafnihi Wa al Qu’ud ‘Inda Qabrihi Sa-ah Li ad-Du’a lahu Wa al Istighfar Wa al Qira-ah, kemudian beliau (an-Nawawi) menyebutkan:[7]
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ شَىْءٌ مِنَ القُرْءَانِ، وَإِنْ خَتَمُوْا القُرْءَانَ عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا.
“Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata: Disunnahkan dibacakan sedikit dari ayat-ayat al Qur’an di dekat mayyit dan jika dikhatamkan al Qur’an seluruhnya di dekatnya adalah sesuatu yang bagus.”[8]
================================
Catatan Kaki
[1] Ibnu Abi al ‘Izz mencela ilmu kalam Ahlussunnah (hal. 25-26), membagi Tauhid menjadi tiga seperti propaganda Ibnu Taimiyah (hal. 27-39), mencela tanzih yang ditegaskan oleh Ahlussunnah termasuk ath-Thahawi (hal. 62), menolak menyebut Allah dengan al Qadim (hal. 67-68) dengan mengabaikan ijma’ yang dikutip oleh banyak ulama Ahlussunnah seperti ath-Thahawi sendiri, meyakini jenis alam azali, berlakunya sifat-sifat baharu bagi Allah dan membenarkan adanya hawadits la Awwala laha (hal. 79-88), menyelewengkan hadits:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىْءٌ غَيْرُهُ
(hal. 90-92) Meyakini bahwa kalamullah adalah huruf dan suara yang jenisnya qadim (hal. 128-130,137), meyakini bahwa penduduk surga akan melihat Allah di arah atas dan berhadap-hadapan dengan mereka (hal. 160), melakukan tahrif terhadap tanzih yang ditegaskan oleh ath-Thahawi (hal. 189-195), mengharamkan tawassul bi adz-Dzawat al Fadlilah (hal. 209-212), meyakini bahwa Allah bertempat di atas ‘arsy (hal. 258-272), meyakini bahwa neraka akan punah (hal. 424-429).
[2] Ibnu Abi al ‘Izz, Syarh ath-Thahawiyyah, hal. 17.
[3] Ibnu Abi al ‘Izz, Syarh ath-Thahawiyyah, hal.20-21.
[4] Ibnu Abi al ‘Izz, Syarh ath-Thahawiyyah, hal.25-26.
[5] Al Bayhaqi, al Asma’ Wa ash-Shifat, hal. 19.
[6] Ini ditegaskan sendiri oleh Ibnu Abi al ‘Izz dalam Syarah ath-Thahawiyyah, hal. 25.
[7] An-Nawawi, Riyadl ash-Shalihin, hal. 345.
[8] Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hanbal serta mayoritas para ulama salaf, bacaan al Qur'an dengan cara bagaimanapun, pahalanya akan sampai ke mayit. Syekh Abdullah al Harari mengatakan: "Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam asy-Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit, maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa إِيْصَالٌ (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit; "اَللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ إِلَى فُلاَنٍ") atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayyit, karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan diakhiri doa I-shal dan membaca al Qur'an di atas kuburan mayyit)". Hal ini juga dijelaskan oleh para ulama madzhab Syafi'i seperti al Khaththabi, al Baghawi, an-Nawawi, Ibnu Rif'ah, Imam Taqiyyuddin as-Subki dan lain-lain.
Az-Za'farani berkata: Aku bertanya kepada asy-Syafi'i tentang membaca al Qur'an di kuburan, beliau menjawab: "Boleh dan tidak mengapa". Dalam Syarh al Muhadzdzab an-Nawawi mengatakan -dan ini disetujui oleh al Hafizh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur-:
"يُسْتَحَبُّ لِزَائِرِ القُبُوْرِ أَنْ يَقْرَأَ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ، وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الأَصْحَابُ".
"Disunnahkan bagi orang yang berziarah kubur untuk membacakan beberapa ayat al Qur'an dan berdoa untuk ahli kubur setelahnya. Ini ditegaskan langsung oleh Imam Syafi'i dan disepakati oleh semua Ashab asy-Syafi'i".
Ibnu ar-Rif'ah dan as-Subki mengatakan:
"Maksud asy-Syafi'i (bahwa bacaan al Qur'an tidak akan sampai pahalanya kepada mayit) adalah bila pembaca meniatkan pahala bacaannya untuk mayit tanpa dibarengi dengan doa (Iishaal)".
(Syekh Zakariya al Anshari, Syarh Raudl at-Thalib, 2/412, Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al Muhtaj, 6/93, as-Subki, Qadla' al Arab Fi As-ilah Halab, 452, as-Suyuthi, Syarh ash-Shudur Bi Syarh Haal al Mawta Wal Qubur, hal. 268-269, Izhhar al 'Aqidah as-Sunniyyah, hal. 328).
No comments:
Post a Comment