Sunday, March 31, 2013

Wahabi melakukan Kebohongan-kebohongan dalam Penisbatan Aqwal

[III]  Mereka melakukan Kebohongan-kebohongan dalam Penisbatan Aqwal

1-  Kasus Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah dalam karya-karyanya selalu menisbatkan pendapatnya kepada para ulama Salaf, ahli hadits, a-immah as-Sunnah secara umum tanpa menyebut nama. Kadang ia nisbatkan kepada para imam madzhab empat atau sebagian ulama madzhab empat dengan atau tanpa menyebut nama. Seringkali Ibnu Taimiyah sengaja menyebutnya secara global tanpa menyebut nama karena memang dia tidak bisa membuktikan hal itu, dan sering dia menyebut beberapa nama dan pada kenyataannya nama yang disebut tidak terbukti berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah. Ini semua dilakukan untuk propaganda, pengelabuan agar orang mengikuti pendapatnya.


Sebagai contoh Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapatnya bahwa meyakini adanya hawa-dits la awwala laha adalah pendapat para ahli hadits dari kalangan ashhab asy-Syafi’i, Ahmad dan semua kelompok tanpa menyebut nama,[1] Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapatnya bahwa Allah berbicara dan diam adalah pendapat a-immah as-Sunnah,[2] Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya menyebutkan pendapat mereka bahwa neraka akan punah adalah pendapat Umar bin al Khaththab, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan lainnya.[3]

Syekh Abdullah al Harari menegaskan:[4]

فَانْظُرُوْا كَيْفَ افْتَرَى كَعَادَتِهِ هذِهِ الْمَقُوْلَةَ الْخَبِيْثَةَ عَلَى أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ، وَهذَا شَىْءٌ انْفَرَدَ بِهِ وَوَافَقَ بِهِ مُتَأَخِّرِيْ الفَلاَسِفَةِ، لكِنَّهُ تَقَوَّلَ عَلَى أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ وَالفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِمْ وَافْتَرَى عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنْهُمْ ذلِكَ لكِنْ أَرَادَ أَنْ يُرَوِّجَ عَقِيْدَتَـهُ الْمُفْتَرَاةَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى ضِعَافِ الأَفْهَامِ، وَيَرْبَأُ بِنَفْسِهِ عَنْ أَنْ يُقَالَ إِنَّهُ وَافَقَ الفَلاَسِفَةَ فِي هذِهِ العَقِيْدَةِ.

“Lihatlah bagaimana Ibnu Taimiyah berdusta seperti kebiasaannya menisbatkan pendapat yang keji ini kepada para ulama hadits, padahal pendapat ini (pendapatnya bahwa jenis alam azali) adalah pendapat pribadinya dan dalam hal ini ia sependapat dengan generasi akhir para filsuf, akan tetapi ia menisbatkan itu kepada para ulama hadits dan fiqh  dari kalangan ashhab asy-Syafi’i, Ahmad dan lainnya dan berdusta terhadap mereka, padahal tidak ada seorang-pun di antara mereka yang berpendapat seperti itu, tetapi Ibnu Taimiyah ingin memasarkan akidahnya yang dusta itu di antara kaum muslimin yang lemah pemahamannya dan enggan untuk disebut bahwa ia menyamai para filsuf dalam akidah ini.”

Syekh Abdullah al Harari juga menegaskan:[5]

"أَقُوْلُ: فَلاَ يَغْتَـرَّ مُطَالِعُ كُتُبِهِ بِنِسْـبَةِ هذَا الرَّأْيِ الفَاسِدِ إِلَى أَئِمَّةِ أَهْلِ السُّـنَّةِ وَذلِكَ دَأْبُـهُ أَنْ يَنْسِبَ رَأْيَـهُ الَّذِيْ يَرَاهُ وَيَهْوَاهُ إِلَى أَئِمَّةِ أَهْلِ السُّـنَّةِ، وَلْيَعْلَمِ النَّاظِرُ فِي مُؤَلَّفَاتِـهِ أَنَّ هذَا تَلْبِيْسٌ وَتَمْوِيْهٌ مَحْضٌ يُرِيْدُ أَنْ يُرَوِّجَهُ عَلَى ضُعَفَاءِ العُقُوْلِ الَّذِيْنَ لاَ يُوَفِّقُوْنَ بَيْنَ العَقْلِ وَالنَّقْلِ.”

“Saya berkata: Janganlah pembaca buku-buku Ibnu Taimiyah terperdaya dengan penisbatan pendapat yang batil ini kepada para imam di kalangan Ahlussunnah, karena sudah menjadi kebiasaan Ibnu Taimiyah menisbatkan pendapat yang dia gandrungi kepada para ulama Ahlussunnah, dan hendaklah pembaca karya-karya Ibnu Taimiyah ketahui bahwa ini adalah kelicikan dan tipuan belaka karena ia ingin memasarkan pendapatnya kepada orang-orang yang lemah akalnya yang tidak bisa mengkompromikan antara akal dan dalil naql.”

Syekh Abdullah al Ghumari juga menjelaskan:[6]

وَكُلُّ هذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ ابْنَ تَيْمِيَةَ لاَ يَسْلُكُ فِي بُحُوْثِـهِ مَسْلَكَ العَالِمِ الْمُنْصِفِ الّّذِيْ يَحْكِي آرَاءَ مُخَالِفِيْهِ بِمُنْتَهَى الأَمَانَةِ وَالدِّقَّـةِ، بَلْ يُحَاوِلُ بِمُخْتَلَفِ الأَسَالِيْبِ أَنْ يُؤْثِّرَ فِي قَارِئِهِ وَيُوْهِمُهُ بِأَنَّ رَأْيَـهُ فَقَطْ هُوَ الصَّوَابُ، وَأَنَّـهُ لاَ يُعْرَفُ بَيْنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَسَلَفِ الأُمَّةِ قَوْلٌ يُخَالِفُ مَا اخْتَارَهُ وَذَهَبَ إِلَيْهِ إِلَى ءَاخِرِ التَّهْوِيْلاَتِ الَّتِي اعْتَادَهَا فِي كَلاَمِهِ لِلتَّأْثِيْرِ بِهَا عَلَى قُرَّائِـهِ بِحَيْثُ يُشْعِرُكَ أَنَّ رَأْيَـهُ إِجْمَاعٌ، ثُمَّ لاَ يَلْبَثُ أَنْ يَعْتَرِفَ فِي غُضُوْنِ كَلاَمِهِ بِإِثْبَاتِ مَا نَفَاهُ وَهَدْمِ مَا بَنَاهُ، وَمِنْ هُنَا كَثُرَ التَّنَاقُضُ فِي كُتُبِ ابْنِ تَيْمِيَةَ بِشَكْلٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي كُتُبِ غَيْرِهِ مِنَ العُلَمَاءِ، بَلْ يَتَنَاقَضُ فِي الكِتَابِ الوَاحِدِ عِدَّةَ مَرَّاتٍ فَيُصَحِّحُ الْحَدِيْثَ فِي مَوْضِعٍ وَيُعِلُّهُ فِي مَوْضِعٍ ءَاخَرَ، وَيَنْفِي وُجُوْدَ الْخِلاَفِ فِي مَسْأَلَةٍ ثُمَّ يَحْكِيْهِ فِيْهَا بَعْدَ ذلِكَ، وَهكَذَا، وَمَا هذَا شَأْنُ العُلَمَاءِ الْمُنْصِفِيْنَ، وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ.

“Ini semua menunjukkan kepada anda bahwa Ibnu Taimiyah dalam penelitian dan kajian-kajiannya tidak bersikap seperti layaknya seorang ulama yang obyektif yang menyebutkan pendapat-pendapat para ulama yang berbeda dengannya dengan penuh amanah dan ketelitian, sebaliknya dengan berbagai cara ia berusaha mempengaruhi pembacanya dan mengesankan kepadanya bahwa pendapatnya sajalah yang benar, tidak diketahui ada pendapat di kalangan para sahabat, tabi’in dan ulama salaf yang menyalahi apa yang dia pilih dan dia ikuti, dan demikian seterusnya gaya-gaya pembenaran yang biasa dia gunakan dalam perkataannya untuk mempengaruhi para pembacanya, sehingga ia mengesankan bahwa pendapatnya adalah ijma’, kemudian tidak lama setelah itu di sela-sela perkataannya ia menetapkan apa yang sebelumnya ia nafikan dan ia robohkan apa yang sebelumnya ia bangun. Dari sini, banyak kontradiksi dalam buku-bukunya dengan prosentase yang belum pernah ada pada ulama lain, bahkan dalam satu buku yang sama Ibnu Taimiyah bisa bertolak belakang perkataan-perkataannya beberapa kali, ia sahihkan hadits di suatu tempat lalu ia cacat di bagian lain, dia nafikan adanya perbedaan pendapat di suatu masalah kemudian setelah itu ia sebutkan khilaf dalam masalah tersebut, dan demikian seterusnya, ini bukanlah perangai para ulama yang obyektif dan kepada Allah-lah kita memohon taufiq.” 

Syekh Ibnu Hajar al Haytami juga menegaskan:[7]

مَنْ هُوَ ابْنُ تَيْمِيَةَ حَتَّى يُنْظَرَ إِلَيْهِ أَوْ يُعَوَّلَ فِي شَىْءٍ مِنْ أُمُوْرِ الدِّيْنِ عَلَيْهِ ؟! وَهَلْ هُوَ إِلاَّ كَمَا قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ الأَئِمَّةِ الَّذِيْنَ تَعَقَّبُوْا كَلِمَاتِهِ الفَاسِدَةَ وَحُجَجَهُ الكَاسِدَةَ حَتَّى أَظْهَرُوْا عُوَارَ سَقَطَاتِهِ وَقَبَائِحَ أَوْهَامِهِ وَغَلَطَاتِهِ كَالعِزِّ بنِ جَمَاعَةَ: عَبْدٌ أَضَلَّهُ اللهُ تَعَالَى وَأَغْوَاهُ وَأَلْبَسَهُ رِدَاءَ الْخِزْيِ وَأَرْدَاهُ، وَبَوَّأَهُ مِنْ قُوَّةِ الافْتِرَاءِ وَالكَذِبِ مَا أَعْقَبَهُ الْهَوَانَ وَأَوْجَبَ لَهُ الْحِرْمَانَ.

“Siapakah Ibnu Taimiyah sehinggu perlu dilihat atau dirujuk pendapatnya dalam urusan-urusan agama ?! Bukankah Ibnu Taimiyah tiada lain hanya seperti yang dikatakan oleh sekelompok para ulama yang mengkritisi perkataan-perkataannya yang menyimpang dan hujjah-hujjahnya yang lemah sehingga mereka singkap kesalahan-kesalahan, keburukan-keburukan pemahamannya seperti al ‘Izz ibn Jama’ah: Ibnu Taimiyah adalah seorang hamba yang disesatkan dan disimpangkan oleh Allah, Allah berikan kepadanya selendang kerendahan dan kehinaan, Allah berikan kepadanya kekuatan dan kelihaian untuk berbohong dan berdusta yang mengantarkannya kepada kehinaan dan mengakibatkannya terhalang.”

2-  Kasus Ibnu al Qayyim

Syekh Musthafa Abu Sayf al Hamami menegaskan:[8]

وَاسْمَعْ مَا يَتَضَمَّنُ أَنَّ أَبَا حَنِيْفَةَ t يُوَافِقُهُ عَلَى الْحُكْمِ بِالكُفْرِ عَلَى كُلِّ مَنْ يُنَـزِّهُ رَبَّـهُ عَنْ أَنْ يَكُوْنَ جِسْمًا قَاعِدًا عَلَى العَرْشِ قَالَ:

وَكَذلِكَ النُّعْمَانُ قَـالَ وَبَعْدَهُ        يَعْقُوْبُ وَالأَلْفَاظُ لِلنُّعْمَانِ
مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِعَرْشِـهِ سُبْحَانَـهُ       فَوْقَ السَّمَاءِ وَفَوْقَ كُلِّ مَكَانِ
وَيُقِرُّ أَنَّ اللهَ فَوْقَ العَرْشِ لاَ            يَخْفَى عَلَيْهِ هَوَاجِسُ الأَذْهَانِ
فَهُوَ الَّذِي لاَ شَكَّ فِي تَكْفِيْرِهِ        للهِ دَرُّكَ مِنْ إِمَامِ زَمَانِ
هذَا الَّذِي فِي الفِقْهِ الأَكْبَرِ عِنْدَهُمْ    وَلَـهُ شُرُوْحٌ عِدَّةٌ لِبَـيَانِ

وَلَقَدْ عَجِبْتُ وَطَالَ عَجَبِيْ لَمَّا رَأَيْتُ هذَا مُسْنَدًا إِلَى هذَا الإِمَامِ الأَعْظَمِ فِي كِتَابِـهِ الفِقْهُ الأَكْبَرُ، وَرَاجَعْتُ هذَا الكِتَابَ مِنْ أَوَّلِـهِ إِلَى آخِرِهِ فَلَمْ أَرَ فِيْهِ إِشَارَةً إِلَى هذَا القَوْلِ، وَالَّذِيْ وَجَدْتُـهُ فِيْهِ يُنَاقِضُ هذَا النَّقْلَ كُلَّ الْمُنَاقَضَةِ، وَهذَا مَا يَقُوْلُـهُ t فِي ذلِكَ الكِتَابِ عَنْ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ: لاَ حَدَّ لَهُ وَلاَ ضِدَّ لَهُ وَلاَ نِدَّ لَهُ وَلاَ مِثْلَ لَهُ ...
ثُمَّ قَالَ الْحَمَامِيُّ: بَلْ أَوَّلُ كَلِمَةٍ مِنْ هذَا الكَلاَمِ تَرُدُّ عَلَى هذَا الرَّجُلِ أَكْبَرَ رَدٍّ، فَإِنَّـهُ t يَقُوْلُ: لاَ حَدَّ لَهُ، وَهذَا الرَّجُلُ يُحَدِّدُهُ تَعَالَى ثُمَّ يُحَدِّدُهُ، وَأَيْنَ هذَا مِنْ هذَا؟ فهَذَا الرَّجُلُ رَغْمَ دَعْوَاهُ الإِمَامَةَ وَالاجْتِهَادَ الْمُطْلَقَ، يُرَوِّجُ بِدْعَتَهُ هذِهِ بِالكَذِبِ عَلَى الإِمَامِ أَبِي حَنِيْفَةَ t، وَهذَا الفِقْهُ الأَكْبَرُ بَيْنَ أَيْدِيْنَا فَلْيُرَاجِعْهُ مَنْ شَاءَ. وَغَيْرُ غَرِيْبٍ أَنْ يَكْذِبَ هذَا الرَّجُلُ فَإِنَّهُ مُبْتَدِعٌ دَاعِيَةٌ إِلَى بِدْعَتِهِ غَالٍ فِيْهَا كُلَّ الغُلُوِّ، وَكُلُّ مُبْتَدِعٍ هذَا شَأْنُـهُ لاَ يَتَوَقَّى الكَذِبَ لِيَنْصُرَ بِدْعَتَهُ كَمَا قَرَّرَهُ العُلَمَاءُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.
ثُمَّ قَالَ الْحَمَامِيُّ: أَمَّا الإِمَامُ يَعْقُوْبُ الَّذِيْ هُوَ أَبُوْ يُوْسُفَ t صَاحِبُ هذَا الإِمَامِ الأَعْظَمِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمْ أَعْثُرْ لَـهُ عَلَى كَلاَمٍ كَهذَا بَعْدَ البَحْثِ الطَّوِيْلِ فَلَعَلَّهُ كَذِبٌ ءَاخَرُ غَيْرَ مَا تَقَدَّمَ، بَلْ لاَ أَشُكُّ فِي أَنَّهُ كَذِبٌ يُرَوِّجُ بِهِ هذَا الرَّجُلُ بِدْعَتَهُ، وَيَجْعَلُ أَبَا يُوْسُفَ كَالإِمَامِ مِنْ أَسْلاَفِـهِ فِي اعْتِقَادِ هذَا البَلاَءِ العَظِيْمِ.

“Dengarkanlah perkataan yang mengandung isi bahwa Abu Hanifah sependapat dengan Ibnu al Qayyim untuk menghukumi kafir semua orang yang mensucikan tuhannya dari berupa jism yang duduk di atas ‘arsy, Ibnu al Qayyim mengatakan:

Demikian pula an-Nu’man telah mengatakan dan setelahnya Ya’qub, dan perkataan ini adalah bunyi perkataan an-Nu’man / Barang siapa tidak mengakui ‘arsy Allah di atas langit dan di atas semua tempat / dan mengakui bahwa Allah berada di atas ‘arsy, tidak tersembunyi bagi-Nya hal-hal yang terlintas dalam pikiran para hamba / maka orang inilah yang tidak ada keraguan untuk dikafirkan, sungguh hebat engkau wahai  Abu Hanifah imam zamannya / inilah yang ada di dalam kitab al Fiqh al Akbar di kalangan para dan ada beberapa syarah untuk menjelaskan kandungannya.

Saya (al Hamami) sangat heran dan lama saya keheranan ketika melihat perkataan ini dinisbatkan kepada al Imam al A’zham Abu Hanifah dalam bukunya al Fiqh al Akbar, saya merujuk kepada al Fiqh al Akbar dari awal hingga akhir, saya tidak lihat isyarat sedikit-pun terhadap perkataan tersebut, yang saya temukan justru pernyataan yang sangat bertentangan dengannya, inilah yang beliau katakan dalam buku tersebut tentang Allah: “Tidak berlaku ukuran bagi Allah, tidak ada lawan, bandingan dan serupa bagi Allah…” Kemudian al Hamami berkata: “Sebaliknya kata pertama dalam pernyataan Abu Hanifah membantah Ibnu al Qayyim dengan bantahan yang sangat kuat, karena Abu Hanifah mengatakan: “Tidak berlaku ukuran bagi Allah,”sedangkan Ibnu al Qayyim dengan jelas menisbatkan ukuran bagi Allah. Bandingkanlah, sungguh sangat jauh pernyataan Ibnu al Qayyim dengan perkataan Abu Hanifah sendiri?!Jadi orang ini meski mengaku sebagai imam dan mujtahid mutlak mempropagandakan bid’ahnya ini dengan berbohong terhadap Imam Abu Hanifah, al Fiqh al Akbar ada di tengah-tengah kita, orang yang ingin membuktikan perkataan saya silahkan melihat sendiri kitab tersebut. Tidaklah aneh jika orang ini berbohong, karena ia seorang mubtadi’ yang mengajak orang kepada bid’ahnya dan sangat berlebihan dalam bid’ah tersebut, dan setiap mubtadi’ seperti ini tidak akan menjauhi kebohongan untuk mendukung bid’ahnya sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama –radliyallahu ‘anhum-. Kemudian al Hamami berkata: “Sedangkan al Imam Ya’qub, yaitu Abu Yusuf sahabat Abu Hanifah, saya tidak menemukan perkataannya seperti ini setelah pencarian yang sangat lama, barang kali itu adalah kebohongan lain, bahkan saya tidak ragu bahwa itu adalah kebohongan Ibnu al Qayyim untuk mempropagandakan bid’ahnya, dia jadikan Abu Yusuf seperti halnya imam Abu Hanifah sebelumnya sebagai salaf (pendahulu) baginya dalam meyakini kesesatan yang sangat besar ini.”

 Referensi

[1]  Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, jilid I, hal.224.
[2]  Majmu’ah Tafsir Sitt Suwar, hal.311.
[3] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘ala Man Qala bi Fana’ al Jannah Wa an-Nar, hal.52, Ibnu Abi al ‘Izz, Syarh al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hal.429.
[4]  Al Harari, al Maqaalaat as-Sunniyyah, hal.73.
[5]  Al Harari, al Maqaalaat as-Sunniyyah, hal.100.
[6]  Al Ghumari, Mishbah az-Zujajah fi Fawa-id Sholat al Ha-jah, hal.61-62.
[7] Al Haytami, al Jawhar al Munazhzham fi Ziyarah al Qabr an-nabawiyy al Mukarram, hal.27-28.
[8]  Al Hamami, Ghawts al ‘Ibad bi Bayan ar-Rasyad, hal.96-101.


No comments:

Post a Comment