[II] Mereka mengklaim Adanya Nasakh atau Khushushiyyah Tanpa Dalil
Orang-orang Wahhabi dan para panutan mereka ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan faham mereka, maka mereka akan mengklaim hadits tersebut berlaku khusus. Berikut beberapa contoh:
1. Tahrif Ibnu Taimiyah terhadap Fatwa Ibnu Abdis Salam
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Taimiyah menyelewengkan fatwa al ‘Izz ibn Abdis Salam. Ibnu Abdis Salam yang berbicara tentang al Iqsam ‘ala Allah dengan makhluk-Nya dan beliau berpendapat jika hadits tentang hal itu sahih maka hendaknya al Iqsam ‘ala Allah dikhususkan dengan Nabi, kemudian diselewengkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Abdis Salam adalah masalah tawassul yang hendaknya dikhususkan dengan Nabi saja. Syekh Abdullah al Ghumari menjelaskan:[1]
هذَا وَقَدْ نَقَلَ ابْنُ تَيْمِيَةَ فِي مَجْمُوْعَةِ الرَّسَائِلِ الكُبْرَى أَنَّ عِزَّ الدِّيْنِ بنَ عَبْدِ السَّلاَمِ فِي فَتَاوِيْهِ أَجَازَ التَّوَسُّلَ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَجَعَلَهُ مِنْ خُصُوْصِيَّاتِـهِ وَقَلَّدَهُ فِي هذَا النَّقْلِ الشَّوْكَانِيُّ فِي الدُّرِّ النَّضِيْدِ وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ بِذلِكَ وَنَاقَشَهُ فِي دَعْوَى الْخُصُوْصِيَّةِ وَرَأَى –أَعْنِي الشَّوْكَانِيّ- جَوَازَ التَّوَسُّـلِ بِالعُلَمَاءِ وَنَحْوِهِمْ، وَالوَاقِعُ أَنَّ النَّقْلَ الْمَذْكُوْرَ غَلَطٌ أَوْ تَحْرِيْفٌ مِنَ ابْنِ تَيْمِيَةَ لأَنِّي قَرَأْتُ الفَتَاوَى الْمَوْصِلِيَّةَ لِلعِزِّ ابنِ عَبْدِ السَّلاَمِ فَوَجَدْتُ كَلاَمَهُ فِي الإِقْسَامِ عَلَى اللهِ بِخَلْقِهِ فَهُوَ الَّذِي قَالَ فِيْهِ أَنَّهُ مِنْ خُصُوْصِيَّاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لاَ مُطْلَقِ التَّوَسُّـلِ الَّذِيْ هُوَ سُؤَالُ اللهِ بِبَرَكَةِ فُلاَنٍ أَوْ جَاهِـهِ فَإِنَّ هذَا لَمْ يَتَعَرَّضْ لَـهُ، وَهكَذَا نَقَلَهُ أَصْحَابُ الْخَصَائِصِ كَالْحَافِظِ السُّيُوْطِيِّ وَالقَسْطَلاَّنِيِّ وَغَيْرِهِمَا مُسْتَدِلِّيْنَ بِهِ عَلَى أَنَّ الإِقْسَامَ عَلَى اللهِ تَعَالَى بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُصُوْصِيَّاتِـهِ، وَهذَا غَيْرُ مَا نَحْنُ فِيْهِ وَهُوَ التَّوَسُّـلُ إِلَى اللهِ بِجَاهِهِ مَثَلاً بِدُوْنِ إِقْسَامٍ عَلَيْهِ.
“Ibnu Taimiyah telah menukil dalam Majmu’ah ar-Rasa-il al Kubra bahwa ‘Izzuddin ibn Abdis Salam dalam kumpulan fatwanya membolehkan tawassul dengan Nabi r dan ia menjadikan itu termasuk salah satu kekhususan Nabi, penukilan ini diikuti oleh asy-Syaukani dalam ad-Durr an-Nadlid meski ia tidak menyebutkan itu dengan tegas, dan asy-Syaukani mendebatnya tentang klaim kekhususan tersebut dan asy-Syaukani berpendapat bolehnya bertawassul dengan para ulama dan semacamnya. Faktanya penukilan ini keliru atau bahkan penyelewengan oleh Ibnu Taimiyah, karena saya telah membaca al Fataawa al Mawshiliyyah karya al ‘Izz ibn Abdis Salam, aku dapati perkataannya tentang al Iqsam ‘ala Allah dengan makhluk-Nya, inilah yang menurut Ibnu Abdis Salam khushushiyyat Nabi, bukan tawassul yang merupakan permintaan kepada Allah dengan berkah si fulan atau kemuliaan Fulan, ini tidak dibicarakan oleh al ‘Izz. Demikian pula fatwa tersebut dikutip oleh para pengarang kitab-kitab Khasha-ish seperti al Hafizh as-Suyuthi, al Qasthallani dan lainnya, mereka berdalil dengan perkataan al ‘Izz bahwa al Iqsam ‘ala Allah dengan Nabi r termasuk khushushiyyat Nabi, ini jauh berbeda dengan tema bahasan kita, yaitu tentang tawassul kepada Allah dengan kemuliaan Nabi tanpa bersumpah kepada Allah dengan nama Nabi misalnya.”2. Ibnu Baz Mengklaim Tabarruk Khusus dengan Nabi
Ibnu Baz-pun mengikuti para pendahulunya, dalam catatan kaki terhadap Fath al Bari Ibnu Baz berusaha membolehkan tabarruk khusus dengan Nabi saja dan ini bertentangan dengan pemahaman para ulama hadits ketika meriwayatkan hadits-hadits tentang tabarruk. Para ulama hadits sendiri memahami hadits-hadits tersebut berlaku umum. Imam Ibnu Hibban dalam Sahih-nya (2/282) mengatakan:
بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صلى الله عليه وسلم عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.
Ternyata Ibnu Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus bagi Nabi, tetapi berlaku juga untuk para ulama 'amilin karena beliau mencantumkan hadits tabarruk dengan air bekas wudlu' Nabi di bawah bab:
“Bab Menyebutkan Kebolehan Bertabarruk dengan Bekas Air Wudlu' Orang-orang Saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang mengikuti sunnah-sunnah Nabi.”
Syekh Mar'i al Hanbali mengatakan dalam Ghayatul Muntaha (1/259-260):
وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ.
“Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya.”
Bahkan dalam kitab al Hikaayaat al Mantsurah karya al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi al Hanbali, beliau menyebutkan bahwa beliau mendengar al Hafizh Abdul Ghani al Maqdisi al Hanbali mengatakan suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan belum sembuh juga. Akhirnya ia pergi ke kuburan Ahmad bin Hanbal. Ia mengusapkan lengannya tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh lagi.
As-Samhudi dalam Wafa' al Wafa (4/1405) menukil dari al Hafizh Ibnu Hajar bahwa beliau mengatakan:
اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ.
“Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: Sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, bolehnya mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; manusia atau lainnya. Tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab. Sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar dan kuburan Nabi dan beliau membolehkannya, dan sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil juga dari Ibnu Abi ash-Shaif al Yamani, salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah, kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan kuburan orang saleh. Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia mengatakan: ini adalah amaliah para ulama sholihin.”
Al Badr al 'Ayni dalam 'Umdah al Qari (9/241) menukil dari al Muhibb ath-Thabari bahwa ia mengatakan:
وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى.
“Dan bisa diambil dalil dari disyari'atkan mencium hajar aswad dan menyentuhkan tangan terhadap sudut-sudut Ka'bah, kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah, karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sunnah tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian Ta'aliiq kakek-ku Muhammad bin Abu Bakr dari Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya, dan ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka menciumnya, ath-Thabari mengatakan: ini bukan sesuatu yang aneh dan jauh dari dalil –Wallahu A'lam- dalam segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah.”
Ternyata para ahli hadits seperti imam Ibnu Hibban, al Muhibb ath-Thabari, al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi al Hanbali, al Hafizh Abdul Ghani al Maqdisi al Hanbali dan para ulama Syurrah al Bukhari (para penulis kitab-kitab syarah -penjelasan- terhadap Sahih al Bukhari) seperti al Hafizh Ibnu Hajar, al Badr al 'Ayni, juga para ahli fiqh Hanbali seperti Syekh Mar'i al Hanbali dan lainnya, semuanya memahami bahwa bolehnya bertabarruk tidak khusus berlaku bagi Nabi.
Referensi
[1] Al Ghumari, Ithaf al Adzkiya’, hal.24, lihat juga ar-Radd al Muhkam al Matin, hal.54-55, Mishbah az-Zujajah fi Fawa-id Sholat al Ha-jah, hal.55-62.
No comments:
Post a Comment