Sunday, March 31, 2013

Mereka mengklaim Ajaran yang tidak sesuai dengan paham Wahhabi sebagai tradisi Yahudi, Nasrani, Syi’ah, Bathiniyyah dan semacamnya

[I]  Mereka mengklaim Ajaran yang tidak sesuai dengan paham Wahhabi sebagai tradisi Yahudi, Nasrani, Syi’ah, Bathiniyyah dan semacamnya

Contoh:

1. Al Albani dalam risalahnya “ar-Radd ‘ala at-Ta’aqqub,” hal. 64 berkomentar tentang Tasbih:

لأَنَّهَا مِنْ شِعَارِ النَّصَارَى. 

“Tasbih termasuk syi’ar (lambang) orang-orang nasrani.” 

Padahal al Imam as-Suyuthi mengatakan dalam risalah “al Minhah Fi as-Subhah”:

وَقَدْ اِتَّخَذَ السُّبْحَةَ سَادَاتٌ يُشَارُ إِلَيْهِمْ وَيُؤْخَذُ عَنْهُمْ وَيُعْتَمَدُ عَلَيْهِمْ كَأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَكَانَ لاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ تَسْبِيْحَةٍ، قَالَهُ عِكْرِمَةُ. وَفِيْ مَوْضِعٍ ءَاخَرَ: "وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ وَلاَ مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ، بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّوْنَهُ بِهَا وَلاَ يَرَوْنَ ذلِكَ مَكْرُوْهًا.ا.هـ .

“Tasbih ini telah dipakai oleh para panutan kita, tokoh-tokoh ternama, ulama-ulama sumber ilmu dan sandaran ummat, seperti Abu Hurairah t. Beliau punya benang yang ada dua ribu bundelan, beliau tidak akan tidur hingga berdzikir dengannya sebanyak dua belas ribu kali, diriwayatkan oleh 'Ikrimah.” Di halaman lain as-Suyuthi mengatakan: "Tidak pernah dinukil dari seorang-pun ulama salaf dan khalaf yang melarang menghitung dzikir dengan tasbih, melainkan kebanyakan ulama yustru menghitung dzikir dengan menggunakan tasbih dan tidak mengganggap hal itu sebagai perkara makruh sekalipun.”

2. Orang-orang Wahhabi dalam memberi kesan negatif kepada Maulid, mereka menyatakan bahwa yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah golongan sesat Syi’ah Bathiniyyah Isma’iliyyah. Padahal para ahli hadits dan sejarah menegaskan bahwa orang yang pertama kali mengadakan maulid yang dianggap bid’ah hasanah oleh para ulama adalah raja al Muzhaffar, raja Irbil, Irak. Al Hafizh as-Suyuthi menegaskan:[1]

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ صلى الله عليه وسلم. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.

“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid; berupa berkumpulnya orang, membaca al Qur'an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Nabi dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan dan bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid'ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala, karena itu merupakan perbuatan mengagungkan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran Nabi yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al Muzhaffar Abu Sa'id Kawkabri ibnu Zainuddin ibnu Buktukin, salah seorang raja yang hebat, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al Jami' al Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun.”

Ibnu Katsir memuji raja al Muzhaffar dalam kitab Tarikh-nya, ia berkata:

كَانَ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ الشَّرِيْفَ فِي رَبِيْع الأَوَّلِ وَيَحْتَفِلُ بِهِ احْتِفَالاً هَائِلاً وَكَانَ شَهْمًا شُجَاعًا بَطَلاً عَاقِلاً عَالِمًا عَادِلاً رَحِمَهُ اللهُ وَأَكْرَمَ مَثْوَاهُ.

“Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal dan beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan adil –semoga Allah merahmatinya.”

Penegasan ini disetujui oleh para ulama setelahnya seperti Muhaddits Marokko Syekh Abdullah al Ghumari, Muhaddits Daratan Syam Syekh Abdullah al Harari, al Muhaddits Syekh Muhammad Zahid al Kawtsari dan lainnya.[2]

3. Peringatan Maulid yang oleh al Hafizh Ibnu Hajar dinyatakan ada asalnya yang sahih dari hadits Nabi, beliau menyatakan:[3]

وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ اليَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاء فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوْا هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى مُوْسَى فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى، فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذلِكَ فِي نَظِيْرِ ذلِكَ اليَوْمِ مِنْ كُلِّ سَـنَةٍ، وَالشُّكْرُ للهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ العِبَادَةِ كَالسُّجُوْدِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلاَوَةِ، وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ بِبُرُوْزِ هذَا النَّبِيِّ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ فِي ذلِكَ اليَوْمِ.

“Telah nyata bagi-ku bahwa peringatan Maulid ini bisa dikembalikan kepada dalil asal yang sahih, yaitu hadits sahih dalam Sahihayn bahwa ketika sampai di Madinah (pada permulaan Hijrah) Nabi r mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Dzulhijjah), maka Nabi bertanya kepada mereka, mereka-pun menjawab: hari itu adalah hari di mana Allah tenggelamkan Fir’aun dan Allah selamatkan Musa, maka kami berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur kita kepada Allah. Maka dipahami dari hadits ini melakukan perbuatan syukur atas anugerah yang diberikan Allah pada hari tertentu; baik berupa datangnya nikmat atau ditolaknya bahaya, dan itu diulang di setiap hari yang sama dari setiap tahunnya, bersyukur kepada Allah terlaksana dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al Qur’an. Dan sudah maklum adakah nikmat yang lebih agung dari nikmat munculnya Nabi pembawa rahmat ini pada hari tersebut ?!”

Al Hafizh as-Suyuthi juga menegaskan:

وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهُ عَلَى أَصْلٍ ءَاخَرَ. 

“Dan telah nampak bagiku mengembalikan masalah Maulid ini ke dalil asal yang lain juga.”

Sedangkan orang-orang Wahhabi menganggap mengadakan peringatan Maulid Nabi adalah tasyabbuh dengan orang-orang Yahudi seperti dinyatakan oleh Ibnu Baz dalam Fatawa Muhimmah (hal. 145) dan at-Tahdzir Min al Bida’ (hal. 3-6) atau sebagian dari mereka menganggap peringatan Maulid Nabi sama dengan peringatan Natal orang-orang Kristen. Bahkan lebih parah lagi, dalam Fatawa al-Lajnah ad-Da-imah mereka menganggap sembelihan yang disembelih saat maulid Nabi adalah termasuk yang disembelih atas nama selain Allah dan itu adalah syirik.

 Referensi

[1]  As-Suyuthi, al Hawi Li al Fatawi, jilid I, hal.183-185.
[2]  Lihat al Ghumari, al Hawi fi Fataawaa al Ghumari, jilid I, hal.48, al Harari, Sharih al Bayan, jilid I, hal.286, al Kawtsari, Maqaalaat al Kawtsari, hal.439.
[3]  As-Suyuthi, al Hawi Li al Fatawi, jilid I, hal.183-185.

( Catatan ke 1 ) Khiyanah Ilmiyyah Dan Berbagai Strategi Licik Kaum Wahhabi


No comments:

Post a Comment