Sunday, February 3, 2013

MELAFADZKAN NIAT KETIKA SHOLAT

Seperti yang kita ketahui bahwa para wahabier menganggap orang yang melafadzkan niat sholat adalah haram bid’ah dan masuk neraka, dengan dalil pokoknya yang ngg’ dilakuin rasul itu sesat, mari kita kaji dengan ilmiyyah jangan hanya modal pembid’ahan ngg’ jelas saja.Semua ulama’ sepakat bahwa segala ibadah itu harus didasari dengan niat berdasarkan hadit shohih: INNAMAL A’MALU BINNIYAT, tp akan menjadi masalah ketika seseorang melafadzkan niatnya ketika akan melakukan ibadah tsb, contoh ketika sholat : USHOLLI FARDLO … LILLAHI TA’ALA, sebenarnya ini bukan masalah yg perlu di besar2kan karena pada dasarnya pelafadzan tsb hanya membantu memantapkan hati agar bias niat dg sungguh2, diantara faedah peladzan niat adalah:
1. Liyusaa’idallisaanul qalbu (“ Agar lidah menolong hati”)
2. Agar menjauhkan dari was-was
3. Keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya
Dalil tentang peladzan niat :
( Alqur’an )- Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (Al-qaf : 18).
Dengan demikian melafadzkan niat dgn lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal kebaikan.
- Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik (Al-fathir : 10).
Maksudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).
( hadits ) 1. Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Ra. Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ
يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.
”. (Hadith riwayat Muslim – Syarah Muslim Juz VIII, hal 216)).
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz binniyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.
Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usolli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
2. Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”. (Hadith Sahih riwayat Imam-Bukhari, Sahih BUkhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135)
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.
3. Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin Rha. Beliau berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha. Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu rasulullah Saw. Bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.
4. Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata :
“Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : “Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku” (HR Ahmad, Abu dawud dan turmudzi)
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz binniyah diketika beliau menyembelih qurban.
Pendapat 4 imam madzhab mengenai peladzan niat:
Mazhab Hanafi:
ulama dalam mazhab ini tidak pada satu suara tentang melafdzkan niat, ada yang melarang karena itu tidak ada contohnya dari nabi tapi ada juga yang membolehkan, ada juga yang mensunnahkan dan ada juga yang memakruhkanya. ini dijelaskan oleh Ibnu Nujaim dalam kitabnya Al-Asybah Wan-Nadzo'ir 1/62.
tapi mereka menitik beratkan pada orang yang was-was. untuk mereka jika melafadzkan niat itu menjadi lebih yakin, maka melafadzkan niat menjadi mustahab (disukai). (Maroqi AL-Falah 1/25)
Mazhab Maliki:
lebih baik meninggalkan / tidak melafazdkan niat karena itu tidak ada contohnya dari Nabi, walaupun kalau dikerjakan yang tidak mengapa. tapi baiknya ditinggalkan.
tetapi pelafazdan niat mejadi mustahab (disukai) untuk orang yang was-was agar keraguananya hilang dalam dirinya. (Balghotus-Salik 1/202, Hasyiyat Ah-Showi 'ala Syarhi Al-Kabir 2/6)
Mazhab Syafi'i:
Ini adalah Mazhab yang paling populer mengumandangkan pelafadzan niat, sehingga bagi beberapa kalangan mazhab ini dianggap "keliru". Wah Ulama sekelas Imam syafi'i dianggap keliru oleh anak kemarin sore yang baru ikut pengajian sekali dua kali!
Ulama dari mazhab ini berpendapat bahwa melafadzkan niat itu sunnah dan ada juga yang megatakan mustahab dalam setiap ibadah. ini dikerjakan untuk membantu menguatakan apa yang sudah diniatkan dalam hati agar tidak ada lagi was-was dan keraguan.
akan tetapi melafadzkan niat itu sendiri bukanlah niat. karena niat itu apa yang ada dalam hati. jadi kalau ditinggalkan pun tidak mengapa. dan kalau apa yang dniatkan dalam lisan itu berbeda dengan yang dihati, maka yang dihitung ialah yang di hati. (Tuhfatul Muhtaj 5/287, mughni Muhtaj 2/248)
Mazhab Imam Ahmad bin Hambal:
Dalam mazhab ini ulama juga juga tidak pada satu suara dalam masalah pelafadzan niat. ada yang tidak menyukainya (ghoiru mustahab/tidak disunnahkan) dan pendapat ini dinisbatkan kepada Imam mereka yaitu Imam Ahmad Bin Hambal dan ada ulama yang menyukainya (mustahab). (Al-Inshof 1/110)

No comments:

Post a Comment