Thursday, January 30, 2014

Lau Kaana Khoiron


Marilah kita kaji tafsir (al Ahqaaf [46]:11 ) dari kitab tafsir Ibnu Katsir

Sehubungan dengan kaidah tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yakni “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) marilah kita kaji bagian yang termuat dalam kitab tafsir Ibnu Katsir pada saat menafsirkan QS (al Ahqaaf [46]:11 ).

Sengaja dimuat dalam terjemahan dalam bahasa Indonesia agar banyak yang dapat mengkaji, memahami dan menarik kesimpulan apakah kaidah “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) ada kaitannya dengan tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11 )

*****awal kutipan ******
“Firman Allah ta’ala, “waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khoiron maa sabaquunaa ilaihi “

Yakni, mereka berbicara tentang orang-orang yang beriman kepada al-Qur’an :”Seandainya al-Qur’an itu baik, niscaya orang-orang itu tidak akan mendahului kami beriman kepadanya”

Yang mereka maksudkan adalah Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah dan perhatian dari Nya. Padahal mereka telah melakukan kesalahan yang nyatanya

******
Sedangkan Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dasarnya dari Sahabat Rasulullah adalah bid’ah, karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita, sebab mereka tidak pernah mengabaikan suatu kebaikanpun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya
******

Firman Allah ta’ala:
“Wa idz lam yahtaduu bihii” , “Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, “yakni dengan al-Qur’an.
“fa sa yaquuluuna haadzaa ifkun qadiim” , “yaitu, kebohongan yang sudah lama atau diwariskan dari orang-orang terdahulu. Artinya, mereka merendahkan al-Qur’an dan orang-orang yang berpegang padanya. Demikian lah kesombongan yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “tidak menerima kebenaran dan merendahkan orang lain”
***** akhir kutipan *******

Menurut pendapat kami dari perbedaan makna khoiron antara QS Al Ahqaaf [46]:11 dengan khoiron pada kaidah bid’ah tanpa dalil sudah dapat kita mengetahui ketidak-terkaitannya

Khoiron pada kaidah bid’ah tanpa dalil adalah segala hal yang baik atau benar

sedangkan

khoiron pada QS Al ahqaaf [46]:11 adalah jika Al Qur’an/Islam adalah kebaikan atau kebenaran.

Hal ini dikatakan pula oleh
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)

Menurut pendapat kami, mustahil hal yang baik itu hanyalah apa yang dilakukan / dicontohkan oleh para Sahabat.

Bagaimanakah hal-hal baik yang dilakukan oleh orang-orang sholeh terdahulu sebelum kehidupan para Sahabat atau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
“dan Zakaria, Yahya, ‘Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh” (QS Al An’aam [6]:85 ).

Amal sholeh (amal kebaikan) adalah sikap atau perbuatan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits walaupun belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah maupun para sahabat
atau dengan kata lain untuk mereka sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi

Amal sholeh (amal kebaikan) adalah sikap atau perbuatan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan petunjukNya walaupun belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah maupun para sahabat.

Jadi semakin jelas kekeliruan kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) bahwa hal yang baik hanyalah apa-apa yang dilakukan oleh para Sahabat. karena bagaimana orang-orang terdahulu bisa dikatakan baik (sholeh) seperti Zakaria a.s, Yahya a.s, Isa a.s dan Ilyas a.s sedangkan para Sahabatpun belum lahir.

Oleh karena kita umatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, hal yang wajib sesuai sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat hanyalah sebatas yang telah disyariatkan atau ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atau ketaqwaan, menjalankan segala perkara hukumnya wajib (ditinggalkan berdosa) yakni kewajiban dan menjauhi segala perkara hukumnya haram (dikerjakan berdosa) yakni larangan/batas dan pengharaman.

Sedangkan untuk amal kebaikan (amal sholeh) atau sunnah dilakukan sesuai dengan kesadaran dan keinginan kita asalkan tidak bertentangan dengan al Qur’an dan hadits kecuali sunnah muakad (sunnah yang diutamakan) , kita diutamakan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat.

Oleh karenanya kita tidak pernah menemukan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa bersholawat wajib sebagaimana yang Rasulullah sampaikan jika berlainan maka akan tertolak.

Begitupula dalam berdzikir atau berdoa tidak pernah diwajibkan sebagaimana yang Rasulullah sampaikan jika berlainan maka akan tertolak.

Kita tidak boleh berinovasi atau berkreasi dalam syariat atau ketaqwaan atau ibadah yakni amal yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai “mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)

“yang mendekatkan kamu dari surga” = kewajiban, “menjauhkanmu dari neraka” = batas/larangan, pengharaman

Sedangkan amal kebaikan atau amal sholeh adalah amal yang membuat Allah ta’ala mencintai hambaNya.

“Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah (amal kebaikan / amal sholeh) hingga Aku mencintainya“. (HR Bukhari)

Yang dikatakan oleh Allah ta’ala sebagai “yang Aku wajibkan” adalah ketaqwaan sedangkan yang dikatakan sebagai “amalan sunnah hingga Aku mencintainya” adalah amal kebaikan atau amal sholeh.

Dapat kita simpulkan dari sejak Nabi Adam a.s sampai akhir zaman nanti, amal sholeh adalah segala sesuatu yang sesuai atau tidak bertentangan dengan petunjukNya.

Hal ini telah pula kami uraikan dalam tulisan kami sebelumnya pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/
dan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/05/bidah-yang-sesat/

Mereka sering teriak ahlul bid’ah kepada muslim lainnya namun pada kenyataannya mereka melakukan bid’ah yang jelas-jelas sesat karena tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Kebenaran itu hanyalah berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits karena kebenaran hanyalah datang dari Allah Azza wa Jalla.
Ijma, atsar, fatwa dan kesepakatan ulama lainnya yang merupakan hal baru dalam kewajiban (perkara hukumnya wajib, jika ditinggalkan berdosa) dan hal baru dalam batas/larangan dan pengharaman (perkara hukumnya haram, jika dikerjakan berdosa) harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits.

Pembuat larangan tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits dan mereka yang mentaati larangan tersebut, sama saja telah melakukan kekufuran karena menyembah diantara manusia.

“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Kajian atau tulisan ini kami sampaikan dalam rangka mengingatkan dan menghindari kekufuran , kesesatan karena bid’ah dlolalah yang akan mengakibatkan bertempat di neraka dan menyia-nyiakan amal perbuatan selama ini.

Marilah kita sebarluaskan penjelasan kekeliruan selama ini dan hentikan penggunaan kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) untuk melarang amal kebaikan (amal sholeh) karena kaidah ini tidak berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits

Alangkah indahnya peringatan Isra Mi’raj, Maulid Nabi, dll tanpa ada satupun ulama yang melarangnya dan kembali berkumandang amal kebaikan (amal sholeh) seperti sholawat badar dan lain-lain yang pada ujungnya akan tegak kembali ukhuwah islamiyah dan tidak ada lagi umat muslim yang menyempal dari jama’ah sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/13/merekak-yang-melesat/

Wassalam —

https://www.facebook.com/groups/1OMWDI/permalink/631161450288313/

No comments:

Post a Comment