NASEHAT UNTUK Ustadz wahhabi Abdul Hakim Amir Abdat
NASEHAT UNTUK Ustadz wahhabi Abdul Hakim Amir Abdat:
"sebaiknya Anda belajar bahasa Arab lagi bro.”
DUSTA ABDUL HAKIM AMIR ABDAT DALAM MENYIKAPI HADITS DLOIF
PROLOG
Sebagaimana dimaklumi, hadits dha’if itu memiliki otoritas dan dapat
diterima dalam konteks fadha’il al-a’mal (amaliah-amaliah yang
utama/sunnah), sejarah, manaqib, biografi, targhib, tarhib dan akhlaq.
Hal ini adalah pendapat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari kalangan
ahli hadits, fuqaha, ahli ushul fiqih dan lain-lain. Bahkan seluruh
ulama salaf, secara kasuistik menerima otoritas hadits dha’if dalam
aspek hukum-hukum syar’i, baik secara kolektif maupun secara individual.
Dalam konteks ini al-Imam al-Nawawi berkata:
وَيَجُوْزُ عِنْدَ
أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَغَيْرِهِمْ التَّسَاهُلُ فِي اْلأَسَانِيْدِ
وَرِوَايَةُ مَا سِوَى الْمَوْضُوْعِ مِنَ الضَّعِيْفِ وَالْعَمَلُ بِهِ
مِنْ غَيْرِ بَيَانِ ضُعْفِهِ فِيْ غَيْرِ صِفَاتِ اللهِ تَعَالىَ
وَاْلأَحْكَامِ كَالْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَغَيْرِهِمَا وَذَلِكَ
كَالْقَصَصِ، وَفَضَائِلِ الْأَعْمَالِ، وَالْمَوَاعِظِ وَغَيْرِهَا مِمَّا
لاَ تَعَلُّقَ لَهُ بِالْعَقَائِدِ وَالْأَحْكَامِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
(الإمام النووي، التقريب والتيسير).
“Menurut ahli hadits dan
selain mereka, boleh mentoleransi sanad-sanad dan periwayatan selain
hadits palsu, yaitu hadits dha’if serta mengamalkannya tanpa menjelaskan
kedha’ifannya, dalam selain sifat-sifat Allah SWT, hukum-hukum seperti
halal haram dan selainnya. Hal itu seperti dalam kisah-kisah,
amalan-amalan yang utama, mau’izhah dan lain-lain, dari hal-hal yang
tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum. Wallahu a’lam.” (Al-Imam
al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, hal. 48).
Belakangan ini, di
kalangan Wahabi, muncul aliran baru yang sangat ekstrem, yang dipimpin
oleh Syaikh Nadhir al-Albani, dari Yordania. Al-Albani cs, dan diikuti
oleh banyak kaum Wahabi di Indonesia, menolak peran hadits dha’if secara
mutlak dan dalam konteks apapun. Kelompok ini juga tanpa memiliki rasa
malu, mengklaim sebagai representasi ahli hadits. Hal ini membuat kita
geli dan bertanya-tanya, “Kalau mereka (al-Albani cs), menolak otoritas
hadits dha’if, sebagai representasi (perwakilan) ahli hadits,
pertanyaannya adalah, ahli hadits yang mana yang mereka wakili? Bukankah
ahli hadits menerima hadits dha’if dalam konteks tertentu, sebagaimana
dipaparkan oleh al-Imam al-Nawawi di atas?”
Saat ini di
Indonesia, mayoritas kaum Wahabi taklid buta kepada al-Albani dalam
menolak otoritas hadits dha’if. Mereka tidak menyadari, dan sepertinya
memang tidak tahu, sehingga tidak sadar, bahwa para ulama Salafi-Wahabi
sebelum generasi al-Albani, seperti pendiri Salafi-Wahabi, murid-murid
dan anak cucunya juga menerima dan menyebarkan hadits dha’if dan riwayat
palsu dalam kitab-kitab mereka. Bahkan para ulama panutan Salafi-Wahabi
seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim, juga banyak menyebarkan
hadits dha’if dan riwayat palsu dalam kitab-kitab mereka. Di antara
bukti, bahwa pendahulu Salafi-Wahabi banyak menyebarkan hadits dha’if
dan palsu, Syaikh al-Albani sendiri melakukan kritik terhadap beberapa
kitab panutan mereka seperti kitab al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu
Taimiyah, yang diedit dan direvisi oleh al-Albani menjadi Shahih
al-Kalim al-Thayyib, dengan membuang 59 hadits dari 252 hadits yang
dianggapnya dha’if. (KAJIAN TUNTAS TENTANG SKANDAL PENYEBARAN RIWAYAT
DHA’IF DAN PALSU DI KALANGAN WAHABI, TELAH KAMI PAPARKAN DALAM BUKU
KAMI, BEKAL PEMBELA AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH DALAM MENGHADAPI RADIKALISME
SALAFI-WAHABI)
Hanya saja, dalam rangkan membenarkan
penolakannya terhadap otoritas hadits dha’if, kaum Wahabi tidak
segan-segan melakukan kebohongan ilmiah, hal ini seperti yang dilakukan
oleh salah seorang Ustadz mereka, yang bernama Abdul Hakim bin Amir
Abdat Abu Unaisah dalam bukunya, AL MASAA-IL (Masalah-Masalah Agama).
Saya kurang tahu, apakah Abu Unaisah di sini adalah yang memiliki akun
di fb, dengan gambar profilnya berupa kitab al-Umm karya al-Imam
al-Syafi’i. Atau Abu Unaisah yang di fb, masih murid atau pengikut
fanatik Hakim Abdat di atas. Berikut rincian kebohongan ilmiah dan
kejahilan (meminjam bahasa dia sendiri dalam bukunya yang
sedikit-sedikit bilang kejahilan), Ustadz Hakim Abdat Abu Unaisah dalam
rangka menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, yang akan kami
kemas dalam bentuk dialog.
WAHABI: “Menurut madzhab Imam Malik,
Syafi’iy, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi,
Ibnul Madini, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm dan lain-lain
dari para imam ahli hadits seperti Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh
al-Albani (dua orang terakhir ini bukan imam ahli hadits, pen.), mereka
semuanya tidak membolehkan secara mutlak mengamalkan hadits dha’if
meskipun hanya untuk fadha-ilul a’mal dan lain-lain.” (BUKU AL MASAA-IL,
HAL. 64)
SUNNI: “Anda tidak menjelaskan, dimana rujukan Anda
dalam mengutip pendapat para imam tersebut, yang menolak otoritas hadits
dha’if dalam semua hal secara mutlak. Di bagian belakang tulisan
tersebut, Anda menuliskan nama-nama kitab yang menjadi sumber rujukan,
seperti al-Muhalla dan al-Fashl karya Ibnu Hazm, al-Majmu’ karya
al-Nawawi, Tadrib al-Rawi karya al-Suyuthi dan lain-lain. Tapi
sepertinya Anda tidak membaca kitab-kitab tersebut secara tuntas, atau
Anda membaca tapi tidak bisa memahami isinya dengan benar. Padahal kalau
kitab-kitab tersebut dibaca, maka akan kelihatan, bahwa para ulama ahli
hadits menerima otoritas hadits dha’if dalam fadha-ilul a’mal dan
sesamanya. Dalam konteks ini, al-Hafizh al-Suyuthi berkata dalam Tadrib
al-Rawi, salah satu rujukan Anda, tetapi tidak Anda baca isinya:
( ويجوز عند أهل الحديث وغيرهم التساهل في الأسانيد ) الضعيفة ( ورواية ما
سوى الموضوع من الضعيف والعمل به من غير بيان ضعفه في غير صفات الله تعالى
) وما يجوز ويستحيل عليه وتفسير كلامه ( والأحكام كالحلال والحرام و )
غيرهما وذلك كالقصص وفضائل الأعمال والمواعظ وغيرها ( مما لا تعلق له
بالعقائد والأحكام ) ومن نقل عنه ذلك ابن حنبل وابن مهدي وابن المبارك
قالوا إذا روينا في الحلال والحرام شددنا وإذا روينا في الفضائل ونحوها
تساهلنا
“Menurut ahli hadits dan selain mereka, boleh
mentoleransi sanad-sanad dha’if (lemah) dan periwayatan selain hadits
palsu, yaitu hadits dha’if serta mengamalkannya tanpa menjelaskan
kedha’ifannya, dalam selain sifat-sifat Allah SWT, dan sifat yang jaiz
dan mustahil bagi Allah, serta menafsirkan firman Allah, dan hukum-hukum
seperti halal haram dan selainnya. Hal itu seperti dalam kisah-kisah,
amalan-amalan yang utama, mau’izhah dan lain-lain, dari hal-hal yang
tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum. Di antara ulama yang
diriwayatkan berpendapat demikian adalah Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman
bin Mahdi, Ibnul Mubarak. Mereka berkata: “Apabila kami meriwayatkan
hadits mengenai halal dan haram, maka kami memperketat. Dan apabila kami
meriwayatkan mengenai fadha-il dan sesamanya, maka kami
memperlonggar/toleran.” (Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, juz 1 hal. 298)
Pernyataan al-Suyuthi di atas menegaskan, bahwa ahli hadits menerima
otoritas dan peran hadits dha’if dalam konteks kisah-kisah,
amalan-amalan yang utama, mau’izhah dan lain-lain. Al-Suyuthi mengutip
pendapat tersebut dari kalangan ahli hadits, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Mahdi dan Ibnul Mubarak. Jelas sekali, kalau pernyataan
Anda wahai Wahabi, tidak mewakili ahli hadits dan lainnya, tetapi
mewakili al-Albani dan pengikut setianya saja.”
WAHABI: “Cukuplah saya turunkan perkataan Imam Syafi’iy radhiyallaahu ‘anhu yang sangat masyhur sekali, yaitu:
إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
“Apabila telah sah suatu hadits, maka itulah Madzhabku.” (BUKU AL MASAA-IL, HAL. 64).
SUNNI: “Anda tidak mengerti maksud perkataan Imam al-Syafi’i di atas
dengan baik. Maksud perkataan tersebut adalah, bahwa madzhab beliau
selalu bersandar kepada hadits shahih. Dan hal ini tidak bisa dibalik,
bahwa kalau ada hadits dha’if, maka akan beliau tolak secara mutlak
seperti yang ada dalam pemahaman Anda. Pernyataan tersebut menjadi bukti
konsistensi madzhab fiqih yang ada dengan hadits-hadits shahih.
Statemen di atas tidak bisa diartikan sebagai bentuk penolakan terhadap
hadits dha’if secara mutlak sebagaimana yang ada dalam pikiran Anda yang
jahil (maaf, meminjam bahasa Wahabi).
Justru pengamalan hadits
dha’if dalam konteks hukum-hukum halal dan haram, telah menjadi
ketetapan dalam madzhab Imam yang tiga, Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
dan Ahmad bin Hanbal. (Silahkan dirujuk dalam Ali al-Qari, Mirqatul
Mafatih, juz 1, hal. 19; Ibnul Humam, Fathul Qadir, juz 1 hal. 417;
Ibnun Najjar al-Hanbali, Syarhul Kaukab al-Munir, juz 2 hal. 573).
Pengamalan hadits dha’if juga diikuti oleh banyak ulama ahli hadits,
seperti Imam Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ibnu Abi Hatim.
Anda hai
Wahabi, mengatakan bahwa Ibnu Hazm menolak hadits dha’if dalam konteks
apapun. Berikut ini akan kami sampaikan pernyataan Ibnu Hazm yang dapat
membuktikan bahwa Anda belum membaca kitab Ibnu Hazm. Beliau berkata
dalam kitabnya al-Muhalla (juz 1 hal. 63):
“وهذا الأثر وإن لم
يكن مما يحتج بمثله فلم نجد فيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم غيره، وقد
قال أحمد بن حنبل رحمه الله: (ضعيف الحديث أحب إلينا من الرأي). قال
علي-يعني ابن حزم نفسه-: وبهذا نقول”انتهى.
“Hadits ini, meskipun
yang seperti itu tidak dapat dijadikan hujjah, tetapi kami tidak
menemukan hadits lain dari Rasulullah SAW. Ahmad bin Hanbal RA telah
berkata: “Hadits dha’if lebih kami senangi daripada pendapat nalar.”
Ibnu Hazm berkata: “Dengan perkataan Ahmad bin Hanbal, kami
berpendapat.”
Dalam kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibnu
Hazm berhujjah dengan hadits dha’if dalam masalah hukum, karena
mengikutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Hafizh al-Sakhawi berkata
dalam Fathul-Mughits (juz 1 hal. 287):
“لكنه-يعني: الإمام أحمد
بن حنبل رضي الله عنه- احتج رحمه الله بالضعيف حين لم يكن في الباب غيره،
وتبعه أبو داود، وقدماه على الرأي والقياس. ويقال عن أبي حنيفة أيضا ذلك.
وإن الشافعي يحتج بالمرسل إذا لم يجد غيره
“Akan tetapi Imam
Ahmad bin Hanbal RA berhujjah dengan hadits dha’if, apabila dalam
permasalahan tersebut tidak ada hadits selainyan. Ia diikuti oleh Abu
Dawud. Keduanya mendahulukan hadits dha’if daripada nalar dan Qiyas.
Demikian pula hal itu diriwayatkan dari Abu Hanifah dan bahwa Imam
al-Syafi’i berhujjah dengan hadits mursal apabila tidak menemukan hadits
lagi.”
Beberapa kutipan di atas membuktikan bahwa Ustadz Hakim
Abdat yang Wahabi, tidak memiliki data-data ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan. Dan bahwa hadits dha’if, tidak hanya diterima
dalam ranah fadha-ilul a’mal, dan sesamanya, akan tetapi diterima dalam
konteks ahkam/hukum-hukum ketika hadits-hadits yang shahih tidak ada.”
WAHABI: “Mereka telah salah faham terhadap perkataan Imam Ahmad bin
Hambal dan lain-lain ulama salaf yang semakna perkataannya dengan
beliau:
إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال
والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله
عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في
الأسانيد
“Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah SAW tentang
halal dan haram, dan sunnah-sunnah dan hukum-hukum niscaya kami
keraskan yakni kami periksa dengan ketat sanad-sanadnya. Dan apabila
kami meriwayatkan dari Nabi SAW tentang fadha-ilul a’mal yang tidak
menyangkut masalah hukum dan tidak disandarkan kepada beliau SAW,
niscaya kami permudah sanad-sanadnya.” (Riwayat ini shahih dikeluarkan
oleh Imam al Khathib al Baghdadi di kitabnya al Kifaayah fi Ilmir
Riwaayah hal 134)”. (BUKU AL MASAA-IL, KARYA HAKIM ABDAT Al-WAHHABI
AL-ALBANIY HAL. 67).”
SUNNI: “Anda membicarakan persoalan hukum
yang agak pelik, tetapi Anda tidak mampu dan salah dalam menerjemahkan
pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal di atas. Coba Anda perhatikan, Imam
Ahmad berkata:
وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
LALU ANDA TERJEMAHKAN: “Dan apabila kami meriwayatkan dari Nabi SAW
tentang fadha-ilul a’mal yang tidak menyangkut masalah hukum dan tidak
disandarkan kepada beliau SAW, niscaya kami permudah sanad-sanadnya”.
Terjemahan Anda jelas keliru. Terjemahan yang benar, seharusnya begini:
“Dan apabila kami meriwayatkan dari Nabi SAW tentang fadha-ilul a’mal,
dan hadits yang tidak menjatuhkan hukum hukum dan tidak mengangkatnya,
(maksudnya tidak menghalalkan dan tidak mengharamkan), niscaya kami
permudah sanad-sanadnya.”
Nasehat kami, kepada saudara Hakim Abdat, sebaiknya Anda belajar bahasa Arab lagi bro.”
Wallahu a’lam.
USTADZ MUHAMMAD IDRUS RAMLI / WWW.IDRUSRAMLI.COM
No comments:
Post a Comment