Bahaya Ilmu Tafsir Cingkrang
Surat
al-Ma’idah: 44, salah satu ayat yang disalahgunakan untuk melegalkan
aksi para teroris atas nama agama; mereka sengaja manipulasi makna
kandungan ayat tersebut untuk mencuci otak & rekrut anggota.
Waspada…. jangan sampai anda terjebak…!!!
Firman Allah yang dimaksud adalah:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)……
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat, yang mengandungi
petunjuk dan cahaya yang menerangi; dengan Kitab itu nabi-nabi yang
menyerah diri (kepada Allah) menetapkan hukum bagi orang-orang Yahudi,
dan (dengannya juga) ulama mereka dan pendita-penditanya (menjalankan
hukum Allah), sebab mereka diamanahkan memelihara dan menjalankan
hukum-hukum dari Kitab Allah (Taurat) itu, dan mereka pula adalah
menjadi penjaga dan pengawasnya (dari sebarang perubahan). Oleh itu
janganlah kamu takut kepada manusia tetapi hendaklah kamu takut kepadaKu
(dengan menjaga diri dari melakukan maksiat dan patuh akan perintahKu);
dan janganlah kamu menjual (membelakangkan) ayat-ayatKu dengan harga
yang sedikit (kerana mendapat rasuah, pangkat dan lain-lain keuntungan
dunia); dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah
diturunkan oleh Allah (kerana mengingkarinya), maka mereka itulah
orang-orang kafir.”
——–
Para ulama kita menyatakan
bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil
faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan
bumerang. Artinya, klaim “kafir” secara mutlak terhadap orang yang tidak
memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar
atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang
muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama],
akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut
melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum
Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa
tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang
kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan
manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun
manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di
atas tidak boleh dipahami secara harfiyah “Barangsiapa tidak memakai
hukum Allah maka ia adalah orang kafir”, pemahaman harfiyah semacam ini
salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab
tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung
takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan
sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:
“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi).
Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat
al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa
besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai
orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat
lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar),
yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena
menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai
orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah
oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan
ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].
Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di
atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di
antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan
bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang
Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang
tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut
adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang
muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap
menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia
digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini
berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini
khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh
al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
1. Bahwa pada permulaan
ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman
Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan
orang-orang Islam.
2. Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu
pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini
telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di
dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas
antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah
orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm
Munasabat al-Ayat].
Kemudian diriwayatkan bahwa sahabat
Hudzifah ibn al-Yaman suatu ketika ditanya tentang ayat 44 ini; “Apakah
yang dimaksud oleh ayat ini adalah Bani Isra’il?” sahabat Hudzaifah
menjawab menjawab; “Benar, ayat itu tentang Bani Isra’il”.
Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang
dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang
mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini
adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa
bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini
bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum
Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah
benar-benar mengeluarkannya dari Islam.
Al-Imam Abu Nashr
al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan
orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah
pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub
sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini
mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun
dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim
meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga
ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah
ibn Abbas berkata: “Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan
seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam
pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum
al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai
hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar
tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun
demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam.
Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari
Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang
membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu
yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina
muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh,
memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan
lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh
tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas
mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya
peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat
dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib,
sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan
kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian
orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka
tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani
mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn
al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri
Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang
tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang
kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)
Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua
kelompok mukmin saling membunuh….”. Artinya sangat jelas bahwa Allah
tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai
orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah ayat
44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan
keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim kafir terhadap orang-orang
yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang
hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka
juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr.
Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia.
pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum
Islam??
Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an”
menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di
dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah.
Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam
masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di
dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak
ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam.
Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal
al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/
j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h.
1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan
dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan
bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma’idah: 44 tersebut adalah salah
satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di
beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca
kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di
negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun,
belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan
memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub
di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti
Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad,
al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan
tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka
sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam.
[Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel,
Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The
Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan,
Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham
sekte al-Baihasiyyah di atas.
Sekali lagi, anda jangan memahami
ayat di atas secara harfiyah atau letterleg alias tafsir cingkrang
saja. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja
anda menanamkan “akar terorisme” pada diri anda…!!! Hati-hati…!!!
http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=561863953857264&id=525519780825015
No comments:
Post a Comment