Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah
“KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN & SUNNAH”, BAGAIMANA MASIH TERSESAT
Kaum Salafi Wahabi sangat terkenal memiliki yel-yel: “Kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah”. Mereka mengajak umat untuk kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah. Kita muslimin semua tahu kenapa demikian? Karena,
sebagai muslim sangat meyakini 100% tentunya bahwa al-Qur’an dan Sunnah
merupakan sumber ajaranIslam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah
Saw, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka
ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat
dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu
kepada umatnya?
===========
Sampai di sini, anda yang
merasa terpelajar mungkin bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimana Ibnu
Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan ‘kebenaran yang
edeal’ berdasar al Qur’an dan al Sunnah masih dianggap sesat oleh para
ulama di zamannya? Mengapa pula paham Salafi Wahabi di zaman sekarang
yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan Sunnah juga dianggap
menyimpang bahkan divonis sesat oleh para Ulama? Boleh jadi anda marah
dalam hati: “Hanya ‘orang gelo’ saja berani menyatakan sesat kepada
mereka!”
Sabar dulu, mari kita perhatikan permasalahan ini
secara komprehensif, agar terlihat “sumber masalah” yang ada pada sikap
yang bagi anda terlihat sangat bagus dan ideal tersebut.
1.
Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” adalah benar secara
teoritis, dan sangatideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam.
Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis
belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas
(kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & Sunnah sangat
berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap
al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai
Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau
ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan
oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku “terjemah” al-Qur’an atau
Sunnah.
Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan
aliran sesat. Jawabnya tentu karena masing-masing mereka berusaha
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka berupaya mengkajinya
dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan dan telah
terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan
petinju yang merintis sholatdengan bacaan yang diterjemah), Ahmad
Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden
(mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril),
Agus Imam Sholihin (orang awam yangmengaku tuhan), dan banyak lagi yang
lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab “Kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah”, mereka merasa benar dengan caranya sendiri. Pada
kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah
itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi
perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah
kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.
2.
Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu
yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu,
sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir),
muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama aqidah
ahus-sunnah wal-Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/ akhlaq).
Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan
kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai
wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari.
Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di
dalam al-Qur’an sebagai “ahludz-dzikr”, yang kemudian disampaikan kepada
umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara
berantai sampai saat ini.
Adalah sebuah keteledoran besar jika
upaya orangbelakangan dalam memahami Islam dengan cara “kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah” dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama
tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi Wahabi. Dan
yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi Wahabi sesungguhnya,
adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama
dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama
salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abadke-8 H.) dan para
pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa
banyak kitab-kitab yang dianggap sampahyang ada di antara abad ke-3
hingga abad ke-8 hijriyah.
Lebih parahnya lagi, dengan rantai
yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi Wahabi pengikutnya
seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang
murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri
setelah merujuk langsung pendapat-pendap at ulama salaf. Bukankah yang
lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka?
Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada
murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun
temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan?
Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari
ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan
mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda
tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari
para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana,
tetapi juga keteledoran besar, bila tidakingin disebut kebodohan. Jadi
kaum Salafi Wahabibukan Cuma menggaungkan motto “kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah” secara langsung, tetapi juga “kembali kepada
pendapat para ulama salaf” secara langsung dengan cara dan pemahaman
sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon
yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari
atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
3. Para ulama
telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam
kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah “hasiljadi”. Para ulama
itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat
memahamiagama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang
rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar
terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang
sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang
mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang,
kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai
oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup
mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw & para
Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan,
penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’
(kehati-hatian) , keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya.
Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan “makanan siap
saji” yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau
memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan
meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi
& Wahabi mengajak umat untuk tidakmenikmati hidangan para ulama, dan
mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah
dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran “pendapat”manusia (ulama)
yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama
saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap
disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.
Seandainya tidak
demikian, mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama
mayoritas yang mereka anggap telah “mencemarkan agama”, lalu menampilkan
dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi Wahabi beserta
karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman
al-Qur’an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan “pemurnian agama”.
Sesungguhnya, “pencemaran” yang dilakukan para ulama yang shaleh dan
ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat
darikesesatan, sedangkan “pemurnian” yang dilakukan oleh kaum Salafi
Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran
terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan
oleh kaum Salafi Wahabi terhadap al-Qur’an dan Sunnah adalah saat mereka
mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an
dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan
yang mereka vonis sebagai bid’ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah
Saw., padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan
Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang “kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah” itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa
para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan
pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para
ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur’an dan Sunnah itu
dituduh oleh kaum Salafi Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang
tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi Wahabi sendiri yang
jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan
sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan
al-Qur’an dan Sunnah.
No comments:
Post a Comment